Nelayan Tolak Ranperda Zonasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Sumut
Oleh
Aufrida Wismi Warastri
·2 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Rancangan Peraturan Daerah Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi Sumatera Utara ditentang Aliansi Nelayan Sumatera Utara dan Walhi Sumut. Ranperda yang sudah sampai konsultasi publik tahap II pada awal November lalu itu dinilai lebih pro pengusaha daripada masyarakat, nelayan kecil, dan upaya konservasi lingkungan.
Direktur Pusat Pengkajian dan Pengembang Masyarakat Nelayan (P3MN) Leonardo Marbun kepada wartawan saat konferensi pers di Kantor Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumut, Jumat (17/11), mengatakan, terjadi tumpang tindih kawasan zonasi dengan kawasan pencarian ikan nelayan tradisional. Ia mencontohkan lokasi penambangan pasir laut di Pantai Labu, Deli Serdang, adalah lokasi pencarian ikan nelayan.
Penambangan pasir telah memunculkan konflik antara nelayan dan pengusaha. Saat ini, kata Leonardo, penambangan pasir di Pantai Labu telah menimbulkan abrasi sekitar 100 meter.
”Kondisi ini dikhawatirkan akan lebih parah karena kawasan penambangan pasir dalam ranperda diperluas ke daerah lain,” kata Leonardo. Penambangan pasir juga telah merusak kawasan ekosistem mangrove di Pantai Labu yang menyebabkan hilangnya lokasi pemijahan ikan.
Penambangan pasir telah merusak kawasan ekosistem mangrove di Pantai Labu yang menyebabkan hilangnya lokasi pemijahan ikan.
Aliansi Nelayan yang menolak ranperda terdiri dari tujuh lembaga, yakni Federasi Serikat Nelayan Nusantara (FSNN), Serikat Nelayan Sumatera Utara (SNSU), Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Serikat Nelayan Merdeka (SNM), Masyarakat Nelayan Tradisional (Mantap), Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Langkat, dan P3MN.
Ranperda membagi kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Sumut menjadi 10 zonasi, yakni pariwisata, pelabuhan, pertambangan, perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri, energi, wilayah pertahanan, kawasan konservasi perairan, dan kasawan strategis nasional tertentu (KSNT) seluas 4,720 juta hektar.
Namun, kawasan konservasi yang disediakan kurang dari 3 persen luasan, sementara sesuai rekomendasi Kementerian Kelautan dan Perikanan luas kawasan konservasi adalah 10 persen. Konservasi penyu di Pantai Barat Sumatera, misalnya, tidak masuk dalam zonasi.
Staf Kajian dan Pengetahuan Walhi Sumut Anton Sipayung mengatakan, persyaratan utama perda adalah perlunya Rencana Strategis (Renstra) Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Dari renstra itu kemudian diturunkan ke zonasi. Sesuai Peraturan Gubernur Nomor 18 Tahun 2013, renstra itu masih sesuai dengan UU No 27/2007, padahal sudah ada UU No 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Leonardo menilai ranperda hanya akan memudahkan pengusaha mengajukan perizinan pengusahaan pesisir dan pulau-pulau kecil di Sumut. ”Jangan sampai perda dikeluarkan untuk alasan pragmatis, terutama menjelang pilkada,” kata Leonardo.