INDRAMAYU, KOMPAS — Pemerintah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, berkomitmen untuk menghentikan praktik perkawinan anak karena merugikan generasi penerus bangsa. Bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Koalisi Perempuan Indonesia, Pemkab Indramayu akan menggencarkan sosialisasi penghentian perkawinan anak.
Komitmen tersebut diserukan Pemkab Indramayu dan lebih dari 100 pelajar saat peluncuran Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak di Pendopo Indramayu, Sabtu (18/11). Turut hadir Bupati Indramayu Anna Sophanah, Andi Mahedi dari Badan Koordinasi Pemerintahan dan Pembangunan Wilayah III Cirebon, serta Rohika Kuniadi Sari, Asisten Deputi Pengasuhan Hak Anak atas Pengasuhan Keluarga dan Lingkungan Deputi Bidang Tumbuh Kembang Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA).
Indramayu menjadi daerah pertama dari lima kota yang dipusatkan sebagai tempat peluncuran Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak. Peluncuran gerakan ini juga akan dilakukan, antara lain, di Semarang, Jawa Tengah, dan Makassar, Sulawesi Selatan. Gerakan ini diinisiasi KPPPA bersama 11 kementerian/lembaga dan lebih dari 30 organisasi/lembaga yang bergerak di bidang pendampingan anak pada 3 November.
”Kami sangat mengapresiasi gerakan ini. (Memang) Ada image (pandangan) bahwa Indramayu itu banyak perkawinan anak. Itu dulu, sekarang sudah berubah. Apalagi, dengan adanya gerakan ini,” ujar Anna.
Anna tidak mengetahui pasti jumlah kasus perkawinan anak di daerah kawasan pesisir utara tersebut. Namun, menurut dia, perkawinan pada usia anak akan sangat merugikan anak bersangkutan. ”Dulu, perkawinan di bawah usia 18 tahun sudah biasa. Bahkan, ada yang masih usia 14 tahun. Akhirnya, ada yang putus sekolah dan bagian reproduksinya rusak,” ujarnya.
Oleh karena itu, menurut Anna, pihaknya telah berupaya menurunkan jumlah kasus perkawinan anak di Indramayu melalui sosialisasi serta bekerja sama dengan lembaga-lembaga terkait, tokoh agama, dan tokoh masyarakat.
Jawa Barat, termasuk Indramayu di dalamnya, merupakan urutan kesembilan untuk kasus perkawinan anak dengan persentase mencapai 30,5 persen.
”Kami berupaya agar tidak ada pernikahan tanpa sarjana,” ucapnya. Pihaknya juga telah mengalokasi biaya dari APBD untuk pendidikan gratis sehingga anak tidak lagi terbebani biaya dan akhirnya memilih menikah pada usia sekolah.
Andi Mahedi menambahkan, kasus perkawinan anak terjadi karena hal itu dipandang sebagai alternatif pencegahan perzinahan. ”Selain itu, perkawinan juga dipandang dapat meringankan beban ekonomi orangtua terhadap anak,” ujarnya.
Rohika mengungkapkan, Jawa Barat, termasuk Indramayu di dalamnya, merupakan urutan kesembilan untuk kasus perkawinan anak dengan persentase mencapai 30,5 persen. Menurut data Dinas Kesehatan Jawa Barat, pada 2016 tercatat 780 kasus perkawinan anak. Padahal, perkawinan anak berhubungan dengan angka kematian ibu yang tinggi karena keadaan ibu tidak normal saat melahirkan.
Rohika menyebutkan, target jangka panjang dalam Gerakan Stop Perkawinan Anak adalah merevisi UU No 1/1974 tentang Perkawinan yang mencantumkan batas usia minimal perkawinan perempuan adalah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun.
”Kami ingin menaikkan usia anak yang bisa menikah dari sebelumnya 16 tahun menjadi 18 tahun. Meskipun sebenarnya usia yang ideal bagi seseorang untuk menikah adalah usia 21 tahun,” lanjutnya.