Gas Ganjal Daya Saing Industri
BANDUNG, KOMPAS — Tingginya harga gas mengganjal daya saing industri dalam negeri. Pelaku industri berharap niat pemerintah menurunkan harga gas tidak sebatas wacana. Dengan demikian, industri tekstil bisa lebih kompetitif.
"Tingginya harga gas sebagai sumber energi primer telah menyandera industri tekstil di Indonesia," ujar Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat Usman saat dihubungi dari Bandung, Selasa (21/11).
Ade mengatakan, saat ini harga gas untuk industri tekstil masih cukup tinggi, yaitu 8,9 dollar AS-9,75 dollar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU). Menurut dia, idealnya harga gas industri turun menjadi 5 dollar AS-6 dollar AS per MMBTU.
Tingginya harga gas membuat industri tekstil dalam negeri sulit bersaing dengan industri luar negeri. Sebab, harga gas di sejumlah negara Asia Tenggara lain, seperti Vietnam, Singapura, dan Malaysia, lebih rendah dibandingkan Indonesia.
Menurut catatan Kompas, Presiden Joko Widodo pernah memerintahkan penurunan harga gas untuk industri. Hal itu diperlukan untuk memperkuat daya saing industri nasional di pasar global.
"Saya meminta ada langkah konkret untuk menjadikan harga gas di Indonesia lebih kompetitif. Dari simulasi hitungan, harga gas Indonesia bisa turun hingga 5 dollar AS-6 dollar AS per MMBTU. Jika tidak bisa turun, sebaiknya tidak perlu dihitung lagi," kata Presiden saat memimpin sidang kabinet di Kantor Presiden, Kompleks Istana, Jakarta, Selasa (4/10) (Kompas, 5/10/2016).
Hingga saat ini perintah Presiden Jokowi tersebut belum sepenuhnya terealisasi. Alhasil, biaya produksi sulit ditekan sehingga membebani pelaku industri tekstil.
Ade mengatakan, dalam lima tahun terakhir, sekitar 12 pengusaha menjual usahanya karena kesulitan akibat tingginya biaya produksi. "Biaya pengadaan gas mencapai 20-25 persen dari biaya produksi. Jadi, dampaknya cukup signifikan," ujarnya.
Agar bisa bersaing
Ongkos produksi yang tinggi membuat harga produk naik. Dampaknya, produk tekstil dalam negeri kalah bersaing dengan produk asing.
Ade optimistis, jika harga gas industri turun menjadi 5 dollar AS-6 dollar AS per MMBTU, biaya produksi bisa diturunkan hingga lebih dari 5 persen. Dengan demikian, harga produk industri tekstil nasional ikut turun sehingga dapat bersaing dengan produk asing.
"Tak hanya memenuhi pasar dalam negeri, saya yakin produk tekstil tanah air bisa bersaing di pasar global. Namun, penurunan harga gas harus segera diterapkan," ujarnya.
Ade mengatakan, sumber energi, seperti gas, batubara, dan listrik, menjadi tulang punggung industri. Untuk itu, dia berharap pemerintah segera menurunkan harga gas industri, terutama untuk industri padat karya seperti tekstil yang menyerap banyak tenaga kerja.
Sekretaris Perusahaan PT Krakatau Steel Suriadi mengatakan, pihaknya sangat mengharapkan penurunan harga gas industri.
"Jika harga gas bisa diturunkan, tentu akan terjadi efisiensi dari biaya energi yang juga berpengaruh terhadap harga pokok penjualan," katanya.
Sementara itu, Sekretaris Perusahaan PT Krakatau Posco, Agus Sutan, mengatakan, pihaknya tak menggunakan gas alam. Gas memang dibutuhkan, tetapi diperoleh secara internal.
"Disebutnya, coke oven gas. Jadi, proses penggunaan batubara menghasilkan gas itu untuk digunakan di pabrik," katanya.
Bahan bakar tersebut diperoleh lewat proses daur ulang. Gas yang muncul dari produksi bagian hulu ditampung kemudian digunakan oleh pusat energi yang membagi-bagi bahan bakar tersebut. Karena itu, menurut Agus, PT Krakatau Posco dapat melakukan efisiensi.
"Pembangkit listrik kami dapat menggunakan gas itu. Tentu, gas itu memiliki kalori yang tinggi. Maka, kami tidak menggunakan gas alam," katanya.
Selain itu, PT Krakatau Posco menggunakan blast furnace gas. Bahan bakar itu merupakan hasil pembakaran di pabrik baja tanur tinggi. (TAM/BAY)