Kasus PDW, Contoh Kekerasan Seksual Berbasis Relasi Kuasa
Oleh
Lukas Adi Prasetya
·3 menit baca
BALIKPAPAN, KOMPAS — Kasus pencabulan yang dilakukan PDW (21), tokoh muda aktivis lingkungan yang sangat paham isu-isu tentang anak, menggemparkan warga Kalimantan Timur. Ini contoh kasus kekerasan seksual berbasis relasi kuasa. PDW sangat paham berada di ”zona aman” sehingga merasa aman melakukan aksinya.
Hal itu diutarakan Helga Worotitjan, pemerhati dan aktivis yang memperjuangkan hak-hak anak dan perempuan, Jumat (24/11), menyikapi kasus PDW. Bagi Helga, kasus pencabulan oleh PDW itu bukan hal baru. Yang agak khusus adalah PDW sangat memahami isu anak dan Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA), tetapi malah beraksi terhadap anak-anak.
”Dalam kasus PDW ini, PDW memakai relasi kuasa sebagai pemimpin organisasi ke anak-anak yang ia rekrut. Yang dewasa saja kalau pakai relasi kuasa bisa keok, apalagi anak-anak yang mudah sekali dibuat bangga kalau didekati orang ’besar’. PDW tokoh muda yang cemerlang, cerdas, menawan, dan disukai,” katanya.
Namun, PDW dan orang-orang seperti PDW bisa menjadi antikritik dan kecenderungan mendominasi agar punya power (kekuasan) luas. Kombinasi ini berbahaya. Jika aksinya ketahuan, orang-orang seperti PDW merasa masyrakat akan lebih cenderung memihak kepadanya.
Helga berasumsi bahwa PDW sangat-sangat narsis, setidaknya itu mudah tergambar di unggahan status dan fotonya di media sosial. ”Makanya, korban enggak berani mengadu karena takut kalah sama pamor PDW. PDW paham banget dia (PDW) ada di zona aman,” ujarnya.
PDW (21) telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Polda Kaltim, di Balikpapan, seminggu lalu. Polisi menyebut ada sembilan korban PDW, seluruhnya lelaki berumur 12-17 tahun. Sementara kuasa hukum PDW, A Mabrur Thabrani, menyatakan, korban PDW hanya enam orang.
Thabrani atau yang sering dipanggil Ardhy ini menyebut kurang tepat jika PDW dicap sebagai pelaku. Sebab, apa yang dilakukan dengan enam korban dilandasi suka sama suka. PDW juga korban kekerasan seksual saat SMP sehingga, menurut Ardhy, PDW adalah pelaku yang juga korban.
Tentang itu, Helga meminta kuasa hukum PDW untuk mempelajari UUPA. ”Dalam hal interaksi seksual dengan anak di bawah umur, sesuai UUPA, adalah pelanggaran hukum. Tidak ada istilah suka sama suka untuk interaksi seksual dengan anak di bawah umur,” ujar Helga.
Menyinggung rentang empat tahun baru ada laporan soal pencabulan oleh PDW, Helga menyebut, perempuan dan laki-laki bisa enggan melapor. ”Tidak boleh bias gender melihat korban laki-laki ataupun perempuan. Karena berasumsi korban laki-laki harusnya lebih bisa melapor.”
Mei Christy Sengoq, pemerhati masalah kekerasan terhadap anak dan perempuan, mengutarakan, dalam banyak kasus, korban bisa menjadi pelaku di kemudian hari. Ini terjadi dalam kasus PDW. ”Solusi harus cepat. Korban mesti mendapat pendampingan yang tepat, oleh pihak yang tepat, dalam jangka waktu yang lama,” katanya.
PDW adalah Presiden (ketua) Green Generation Indonesia, organisasi lingkungan hidup yang telah berkembang di banyak kota. Ketika duduk di bangku SMA, PDW pernah menjabat Ketua Forum Anak Balikpapan. PDW juga pernah jadi fasilitator di organisasi anak.