SOREANG, KOMPAS — Tindak kekerasan yang dilakukan anak sering kali dipengaruhi lingkungan keluarga dan sekolah. Kedua pihak tersebut perlu meningkatkan pendampingan terhadap anak dengan edukasi untuk mencegah tindak kekerasan.
”Keluarga dan sekolah menjadi lingkungan terdekat dengan anak. Tingkatkan pendampingan pada anak agar tidak melakukan kekerasan. Jangan sampai kedua lingkungan itu justru memberikan contoh tindak kekerasan sehingga ditiru oleh anak,” ujar Ketua Pengurus Sapa Institut Sri Mulyati di Bandung, Jawa Barat, Minggu (26/11).
Hal itu diutarakan Sri saat menanggapi beberapa kasus kekerasan yang melibatkan anak, baik sebagai pelaku maupun korban. Sapa Institut merupakan lembaga swadaya yang fokus pada isu kekerasan anak dan perempuan.
Pada Sabtu (25/11), AM (11), siswa SDN Ciapus 2, Banjaran, Kabupaten Bandung, meninggal karena dianiaya AR (11), siswa dari sekolah lain. Kejadian itu terjadi saat tim sepak bola keduanya akan bertanding di lapangan belakang SMK PGRI Banjaran.
Sebelum bertanding, AR menghampiri dan mengutarakan kalimat menantang korban berkelahi. AM mengatakan tidak berani dan meminta maaf kepada AR.
Akan tetapi, AR tidak menggubris perkataan korban. AR justru memukul dua kali di ulu hati dan menendang kemaluan AM. Tak sampai di situ, AR lalu menggunakan lutut kanannya menekan dada korban. Kemudian, AR memukul leher AM sebanyak tiga kali.
Aksi itu dilerai siswa lainnya. AR kemudian pergi meninggalkan lokasi itu, sementara korban tergeletak di lapangan.
Teman-teman korban lantas melaporkan kejadian itu kepada guru mereka. AM kemudian dibawa ke Puskesmas Nambo, Banjaran, tetapi nyawanya tidak tertolong.
Kekerasan oleh anak terhadap temannya sudah beberapa kali terjadi di Jabar. Agustus lalu, seorang siswa SD di Cicantayan, Kabupaten Sukabumi, juga meninggal setelah berkelahi dengan temannya.
Sri mengatakan, untuk mencegah aksi kekerasan oleh anak, keluarga dan sekolah harus memastikan lingkungan anak tanpa kekerasan. Sebab, menurut dia, masih banyak pihak menoleransi tindak kekerasan dalam penyelesaian masalah.
”Seperti kekerasan suami kepada istri atau guru kepada siswa. Jika hal itu terus-menerus disaksikan anak, mereka akan menganggap hal itu diperbolehkan sehingga berpotensi ditiru,” ujarnya.
Menurut Sri, anak yang melakukan kekerasan juga termasuk korban. Mereka menjadi korban paparan aksi kekerasan yang dilakukan langsung ataupun tidak langsung.
”Keluarga harus selektif memilih tontonan yang tidak mengandung unsur kekerasan. Peran sekolah juga tidak kalah penting untuk terus mengedukasi siswa agar tidak menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah,” katanya.
Orangtua AM tidak berkomentar banyak atas kematian anaknya. Mereka menganggap kejadian itu sebagai musibah dan membuat surat pernyataan tidak menuntut keluarga AR dan pihak lainnya.
Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Jabar Komisaris Besar Yusri Yunus mengatakan, keluarga korban menolak dilakukan otopsi terhadap jenazah AM. Korban dimakamkan di tempat pemakaman umum di Banjaran, Sabtu, sekitar pukul 16.00.