Mereka Menolak Mentok di Umbul Ponggok
Kendati bukan musim liburan, obyek wisata Umbul Ponggok di Desa Ponggok, Kecamatan Polanharjo Klaten, Selasa (14/11) siang, ramai dikunjungi pelancong. Beberapa di antaranya tampak bersiap menyelami kolam berair jernih berukuran 50 meter x 25 m sedalam 2,6 meter.
”Sekitar 60 persen pendapatan BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) Tirta Mandiri berasal dari obyek wisata Umbul Ponggok,” kata Direktur Utama Tirta Mandiri Joko Winarno.
Tahun ini, Pemerintah Desa Ponggok menargetkan pendapatan BUMDes Tirta Mandiri Rp 13 miliar. Hingga Oktober, telah tercapai sekitar Rp 11,9 miliar. Joko meyakini, target Rp 13 miliar akan terlampaui. Pendapatan Tirta Mandiri terus melambung seiring berkibarnya Umbul Ponggok yang dikembangkan sebagai obyek wisata selam permukaan.
Sebelumnya, pada 2015, dari target pendapatan Rp 3,8 miliar, Tirta Mandiri meraup Rp 6,4 miliar. Pada 2016, pendapatan melonjak menjadi Rp 10,3 miliar, melebihi target yang ditetapkan Rp 9 miliar.
Umbul Ponggok sebenarnya merupakan unit usaha terakhir yang dikelola BUMDes Tirta Mandiri. Sekretaris Desa Ponggok Yani Setiadi mengatakan, Tirta Mandiri didirikan pada 2009 dengan modal awal Rp 100 juta. Awalnya, usaha yang dirintis adalah kredit simpan pinjam.
Hal ini dilatarbelakangi banyaknya warga Ponggok yang terjerat utang pada rentenir. Besaran pinjaman bervariasi, mulai dari ratusan ribu rupiah hingga jutaan rupiah. Bunganya mencekik hingga 30 persen per bulan.
”Awalnya, dari modal Rp 100 juta, Rp 70 juta dipakai menutup pinjaman warga kepada rentenir. Warga mengangsur pinjaman kepada BUMDes dengan bunga ringan 1 persen per bulan,” kata Yani.
Awal 2011, Tirta Mandiri melirik kolam alam Umbul Ponggok yang belum tergarap. Umbul yang dalam bahasa Jawa berarti kolam mata air selama puluhan tahun dimanfaatkan sebatas untuk irigasi dan mencuci oleh warga.
Investasi mandiri
Untuk menggarap Umbul Ponggok, warga diajak berinvestasi. Dari 639 keluarga, 330 keluarga berinvestasi masing-masing Rp 5 juta. Dana terkumpul sekitar Rp 1,6 miliar lalu dipakai mempercantik Umbul Ponggok. Sebagian lain dipakai membeli perlengkapan menyelam dan peralatan fotografi bawah air untuk disewakan kepada pengunjung. ”Kami memberi bagi hasil investasi sekitar 10 persen per bulan,” kata Yani.
Kepala Desa Ponggok Junaedhi Mulyono bercerita, awalnya tak mudah meyakinkan warga untuk berinvestasi ke BUMDes Tirta Mandiri. Dia bahkan mesti berkeliling menemui warga untuk menjelaskan rencana bisnis Tirta Mandiri. Ia mengibaratkan hal itu seperti menghadapi puting beliung.
”Awalnya BUMDes tidak dipercaya. Sampai ada omongan, ’kalau ada uang, uangnya akan dipakai kepala desa’. Kami banyak sosialisasi, ngomong, diskusi dengan warga,” tuturnya.
Selain itu, pihak desa juga meminta bantuan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, untuk memetakan potensi ekonomi dan solusi pemberdayaan warga. Beberapa waktu kemudian, melihat usaha pengembangan Umbul Ponggok mulai membuahkan hasil, semakin banyak warga berinvestasi di Tirta Mandiri. Dana yang disetor berkisar Rp 2 juta-10 juta.
Sayap usaha Tirta Mandiri pun mengepak. Mereka mulai membuka unit usaha lain seperti toko swalayan, mengembangkan wisata Ponggok Ciblon, dan budidaya ikan nila. Adapun usaha simpan pinjam tetap dipertahankan guna mencegah warga kembali terjebak rentenir.
Roda ekonomi di Ponggok kian berputar kencang tiga tahun terakhir seiring pengucuran dana desa. Pada 2015, desa yang terletak sekitar 40 kilometer timur laut Kota Yogyakarta itu mendapat alokasi Rp 277 juta. Dana itu digunakan untuk membangun infrastruktur dasar, antara lain jalan desa, sanitasi, dan fasilitas MCK.
Pada 2016, dana desa meningkat menjadi Rp 622 juta dan penggunaannya tetap untuk infrastruktur dasar. tahun ini alokasinya mencapai Rp 634 juta dan digunakan untuk membangun saluran drainase, infrastruktur jalan, areal parkir untuk mendukung pariwisata, dan pemberdayaan UMKM.
Menyerap pekerja
Perkembangan BUMDes Tirta Mandiri, menurut Yani, telah membuka lapangan kerja bagi masyarakat Ponggok. Sedikitnya 82 warga telah diserap bekerja di Tirta Mandiri. ”Sekarang ada 13 unit usaha, tetapi pendapatan terbesar tetap dari Umbul Ponggok. Misalnya, toko desa itu menghasilkan sekitar Rp 200 juta per bulan, wisata Ponggok Ciblon lebih kurang Rp 157 juta per bulan,” katanya.
Ponggok yang sebelum 2001 tergolong desa miskin dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) hanya Rp 14 juta, kini pos pendapatan dalam APBDes 2017 tercatat Rp 3,7 miliar. Dari jumlah itu, Rp 1,2 miliar disumbang BUMDes.
Menurut Yani, pemasukan desa juga berasal dari PT Tirta Investama yang memanfaatkan mata air Sigedang di Ponggok untuk memproduksi air minum dalam kemasan. Setiap liter air menyumbang dana pembangunan ke desa senilai Rp 1,25.
Joko mengatakan, sebagian keuntungan BUMDes Tirta Mandiri dikembalikan ke warga melalui program tanggung jawab sosial. Program ini diwujudkan untuk membayar premi BPJS Kesehatan kelas 3 bagi sekitar 1.800 warga yang bukan PNS/TNI/Polri ataupun yang bekerja di perusahaan swasta.
Setiap mahasiswa warga Ponggok juga diberi bantuan Rp 400.000 per bulan. Mereka juga mencanangkan program satu rumah satu sarjana. ”Sudah ada 48 mahasiswa yang mendapat bantuan. Itu bisa dipakai untuk membayar indekos atau makan sehari-hari. Harapannya, setelah lulus, mereka nanti mau bekerja di Ponggok dan ikut mengembangkan Tirta Mandiri,” kata Joko.
Suparni (54), warga Ponggok yang membuka usaha warung bebek dan ayam goreng di depan Ponggok Ciblon, mengaku merasakan manfaat pengelolaan potensi desa. Suami dan dua anaknya menjadi peserta BPJS Kesehatan. Putranya yang kuliah di Institut Agama Islam Negeri Surakarta dibantu Rp 400.000 per bulan.
”Itu sangat membantu kami,” ujar Suparni yang setiap bulan juga menerima bagi hasil Rp 400.000 dari berinvestasi Rp 5 juta di Tirta Mandiri.
Pengelola BUMDes Tirta Mandiri tidak mau berpuas diri. Mereka berancang-ancang untuk membangun wahana permainan yang belum ada di obyek wisata lain dengan estimasi dana Rp 30 miliar. Lagi-lagi warga siap berpartisipasi dengan menginvestasikan dana mereka secara mandiri.
Di Ponggok, dana pemerintah dan warga dikelola untuk mengangkat potensi desa. Keberhasilannya jadi contoh bagaimana pariwisata menjadi jalan meraih kemakmuran bersama.