Indonesia Jadi Anggota Dewan Organisasi Maritim Internasional
BANDUNG, KOMPAS — Setelah terpilih sebagai anggota Dewan Organisasi Maritim Internasional (International Maritime Organization/IMO) pada 1 Desember lalu, Indonesia dapat memanfaatkan lembaga itu untuk menguatkan komitmen sebagai poros maritim dunia.
Indonesia memiliki posisi tawar yang tinggi serta fungsi penting dan strategis dalam menentukan arah maritim internasional.
Hal itu diungkapkan utusan khusus pada IMO di London, Inggris, Laksamana (Purn) Marsetio dalam acara Pengkhidmatan 60 Tahun Deklarasi Djuanda sebagai substansi Hari Nusantara di Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat, Selasa (12/12).
Tampil sebagai pemateri ahli hukum laut Hasyim Djalal, Guru Besar Universitas Pasundan Didi Turmudzi, Menteri Lingkungan Hidup 1993-1998 Sarwono Kusumaatmadja, dan Ketua Indonesian Centre for the Law of the Sea (ICLOS) Achmad Gusman Siswandi.
Menurut Marsetio, Indonesia terpilih sebagai anggota Dewan IMO dalam sidang umum (assembly) pada 1 Desember 2017 di Markas Besar IMO di London. Hal itu menunjukkan pengakuan negara-negara atas status Indonesia sebagai negara maritim. Dengan menjadi anggota Dewan IMO, Indonesia bisa ikut menentukan arah dan kebijakan penyusunan aturan maritim internasional yang juga berpengaruh terhadap kebijakan maritim nasional.
IMO adalah badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertanggung jawab atas keselamatan dan keamanan pelayaran dan pencegahan pencemaran laut oleh kapal. Saat ini IMO memiliki 172 negara anggota. Dewan IMO merupakan organ eksekutif organisasi yang bertanggung jawab terhadap Majelis IMO untuk mengawasi kerja dan kinerja organisasi.
Dewan melaksanakan semua fungsi majelis, kecuali membuat rekomendasi kepada pemerintah terkait keselamatan maritim dan pencegahan polusi. Dewan dipilih oleh majelis untuk jangka waktu dua tahun. Keanggotaan pada Dewan IMO ini memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk ikut serta dalam menentukan kebijakan-kebijakan IMO yang sangat berpengaruh pada dunia kemaritiman.
Keanggotaan dalam Dewan IMO ini sangat mendukung visi Presiden Joko Widodo untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Presiden pada sidang Marine Environment Protection Committee (MEPC) di markas besar IMO di London, 19 April 2016, menyampaikan konsep Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia (Indonesia as Global Maritime Fulcrum). Sidang MEPC dihadiri oleh 720 delegasi dari negara-negara anggota IMO.
Deklarasi Djuanda
Sarwono menjelaskan, pada 13 Desember 1957, Pemerintah RI mengumumkan maklumat yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi Djuanda, di mana Indonesia menyatakan klaim sepihak tentang kedaulatan negara di wilayah perairan kepulauan Nusantara. Waktu itu, wilayah perairan oleh Hukum Laut Internasional yang berlaku masih berstatus sebagai wilayah internasional yang memisahkan pulau-pulau.
Melalui perjuangan diplomasi yang panjang, akhirnya klaim Indonesia diakui oleh dunia internasional melalui United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) III tahun 1982. Ratifikasi oleh Indonesia dilaksanakan melalui UU 17/1985 tentang pengesahan UNCLOS III dan dinyatakan berlaku 16 November 1994. Dengan pengakuan itu, luas perairan meningkat dari 0,5 juta kilometer persegi menjadi 5,1 juta kilometer persegi.
Dengan pencanangan poros maritim dunia oleh Presiden, berbagai gagasan yang terakumulasi sebelumnya mendapat ruang besar untuk dikembangkan. ”Konektivitas maritim dalam negeri menjadi instrumen pemersatu wilayah berdasarkan wawasan Nusantara dan sekaligus memastikan bahwa konektivitas global dari wilayah maritim kita mempunyai basis infrastruktur maritim di dalam negeri,” ujar Sarwono.
Salah satu dinamika mendatang di antaranya gejala kenaikan permukaan air laut secara global akibat perubahan iklim. Oleh karena itu, Hasyim Djalal menegaskan, Pemerintah Indonesia sudah saatnya memikirkan kondisi Antartika dan mineral bawah laut. ”Saya sarankan Universitas Gadjah Mada, Unpad, dan Universitas Andalas membangun pusat studi bersama mineral dasar samudra dan Antartika,” ujar Hasyim.
Ahmad Gusman menambahkan, pembangunan di bidang kelautan perlu dilaksanakan sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) yang disepakati masyarakat internasional pada 2015. SDGs mencakup 17 butir tujuan pembangunan berkelanjutan, termasuk Goal 14 yang juga dikenal dengan life below water.
Di tengah berbagai ancaman global terhadap lingkungan laut, seperti penangkapan ikan ilegal, perubahan iklim, dan menurunnya keanekaragaman hayati laut, Goal 14 diharapkan dapat menghimpun upaya dan komitmen masyarakat internasional untuk menjamin pemanfaatan sumber daya laut secara berkelanjutan. Komitmen itu pada gilirannya diharapkan dapat mendukung keberlangsungan hidup umat manusia di bumi ini.