KEDIRI, KOMPAS — Pemerintah Kota Kediri, Jawa Timur, berusaha mengangkat pamor tenun ikat Kediri ke kancah nasional. Selama ini gaung tenun ikat yang biasa dikenal dengan sebutan tenun ikat bandarkidul belum terdengar luas oleh masyarakat.
Tenun ikat Kediri diproduksi perajin di Kelurahan Bandarkidul, Kecamatan Kediri Kota. Tenun itu sudah diproduksi sejak tahun 1950-an. Saat ini di Kelurahan Bandarkidul terdapat belasan industri kecil tenun ikat dengan perajin mencapai 500-an orang. Sebelumnya tenun ikat bandarkidul lebih dikenal dengan produk berupa sarung goyor dengan pangsa pasar dalam negeri dan ekspor ke sejumlah negara di Timur Tengah.
Kami ingin menunjukkan ke Indonesia bahwa Kediri punya tenun ikat.
”Kami berusaha mengangkat pamor tenun ikat. Kita ingin menunjukkan ke Indonesia bahwa Kediri punya tenun ikat. Selama ini tenun itu hanya dikenal sebagai sarung saja, padahal tenun ikat Kediri juga bisa digunakan untuk pakaian sehari-hari,” ujar Wali Kota Kediri Abdullah Abu Bakar dalam jumpa pers Dhoho Street Fashion, di Kediri, Rabu (12/12) sore.
Dhoho Street Fashion yang berlangsung pada Kamis menghadirkan karya desainer ikat Indonesia Didiet Maulana dan sejumlah desainer lokal Kediri. Dhoho Street Fashion tahun ini mengambil tema MengIKAT Kediri.
Menurut Abu Bakar, sejumlah upaya telah dilakukan untuk mengangkat tenun ikat di Kediri. Selain mengikuti pameran di sejumlah daerah, termasuk pameran nasional, dan menggunakan tenun ikat untuk cendera mata, pemerintah daerah juga mengharuskan pegawai negeri sipil dan swasta untuk mengenakan kain ikat sekali dalam sepekan. Dengan begitu, perajin tenun akan terbantu. Selain itu warga juga akan memiliki kebanggaan dengan tenun khas daerah sendiri.
Pemerintah daerah juga memasukkan tenun ikat dalam muatan lokal di sekolah. Saat ini ada satu sekolah, yakni SMK 2, yang telah menerapkan ekstrakurikuler menenun. Pihak SMK 2 menargetkan membuat 2.000 helai kain tenun per tahun untuk dipakai sebagai seragam khusus siswa. Selain itu ada SMK 3 yang memiliki program studi tata busana dan menjadikan tenun ikat bandarkidul sebagai salah satu bahan pelajaran.
”Sudah ada sekolah yang memasukkan ekstrakurikuler tenun. Hasil kreasi mereka juga bagus-bagus. Ini tentu menarik karena hasil dari semangat anak muda,” kata Abu Bakar yang meminta para perajin untuk lebih kreatif mendesain batik dari sisi motif ataupun kegunaan.
Menurut Abu Bakar, peran pemerintah daerah diperlukan untuk membantu para perajin. Ia mencontohkan, tahun 2002-2006 para perajin sempat lesu, tetapi karena dukungan dan bantuan dari pemerintah daerah dan swasta, mereka kembali bergeliat. Bahkan, saat ini aktivitas menenun tidak hanya ada di Bandarkidul, tetapi juga ada di Kelurahan Bandarlor dan Campurejo.
Bantuan dari pemerintah kota antara lain adalah alat tenun bukan mesin, pelatihan motif, studi banding, dan permodalan. Sementara dari pihak swasta ada bantuan alat pemintal dari perbankan.
Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kota Kediri Ferry Silviana berharap tenun ikat lebih dikenal masyarakat. Selama ini tenun ikat dianggap hanya terbatas pada pakaian formal. Padahal, kain ini juga bisa dipakai untuk pakaian sehari-hari.
Dekranasda ingin tenun tidak mutlak punya orang kaya, tetapi juga masyarakat umum bisa menggunakan.
”Dekranasda ingin tenun tidak mutlak punya orang kaya, tetapi juga masyarakat umum bisa menggunakan. Saat ini tenun ikat belum hadir dalam kehidupan sehari-hari, kesannya masih pakaian formal, bisa hadir sebagai busana sehari-hari,” ucapnya.
Siti Ruqoyah, salah satu perajin dan pemilik industri kecil tenun di Kelurahan Bandarkidul, mengatakan, kondisi kerajinan tenun ikat terus berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Saat ini Siti memiliki 98 karyawan, 90 orang di antaranya masih muda. Siti memproduksi sejumlah produk, seperti kain, dompet, syal, dan pakaian.
”Pangsa pasar saya Kediri dan sekitarnya. Sekarang mulai merambah Jakarta, Riau, Palembang. Menurut rencana, Februari tahun depan akan kirim ke Amerika,” ucapnya.
Didiet Maulana mengatakan, Kediri punya ikat bagus, variatif motif, dan kerapatan halus. Ia juga melihat banyak anak muda yang komitmen menjadi perajin tenun. Hal itu perlu dicontoh oleh daerah-daerah lain yang punya kerajinan tenun. ”Sebanyak 80 persen (perajin tenun muda) yang saya ajak bicara mengaku mereka menjadi seniman (perajin) tenun karena ingin melestarikan budaya. Ini yang unik dan spesial dari Kediri,” ujarnya.