Silau Kemilau Emas di Hutan Geumpang
Karena alasan keterdesakan ekonomi, ribuan orang menyerbu hutan lindung di Kecamatan Geumpang, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh untuk menambang emas. Pertambangan ilegal yang dilakukan serampangan membuat hutan hancur lebur. Kemilau emas membuat orang-orang silau terhadap ancaman bencana.
Menjelang sore pada Rabu (1/11), rintik-rintik hujan mulai turun. Puluhan petugas terdiri dari Polri, TNI, Polisi Hutan, dan Pengamanan Hutan menapaki jalan tanah yang licin dan terjal. Udara dingin menusuk pori-pori. Jas hujan berbahan plastik tidak mampu mengusirnya.
Hari itu, petugas melakukan operasi menutup tambang ilegal di Geumpang. Tim bergerak dari jalan Geumpang, Pidie – Tutut, Aceh Barat yang membelah hutan lindung.
Di awal perjalanan, kerusakan hutan sudah terpampang jelas. Pohon-pohon bertumbangan di jalan yang dibuka untuk dilewati alat berat.
Jalan itu luasnya tujuh meter dan panjang sekitar dua kilometer. Tim berjalan dengan perlahan sebab jalan licin, berlumpur, menanjak, dan terjal.
Dari satu lokasi ke lokasi lain, tim menyusuri tepi sungai. “Kita harus sampai ke ujung sungai sebelum Magrib, jangan sampai malam di perjalanan,” kata seorang petugas.
Setelah satu jam berjalan pemandangan memilukan terpampang. Hutan dan daerah aliran sungai hancur lebur.
Pohon-pohon bertumbangan, aliran sungai dipenuhi material tanah, lubang-lubang bekas galian tambang emas bertebaran.
Di tiga lokasi yang didatangi, areal kerusakan cukup luas, panjangnya 5 kilometer dan lebar 150 meter.
Jika dihitung dalam satuan hektar, di tiga lokasi itu luas kerusakan mencapai 75 hektar. Namun perkiraan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, kerusakan hutan di Geumpang mencapai 5.300 hektar.
Di lokasi tambang itu tidak ditemukan pekerja. Kuat dugaan rencana operasi bocor sehingga saat petugas mendatangi lokasi tidak ada aktivitas. Padahal, biasanya puluhan alat berat menambang di sana.
Polisi hanya menemukan tiga alat berat, namun dalam kondisi rusak. Enam warga yang kebetulan berada di lokasi tambang ditahan.
Polisi menduga mereka adalah pekerja yang bertugas mengawasi jalannya operasi. Gubuk milik penambang dibakar dan mesin dirusak.
Tiga pola
Geumpang berada di barat Kabupaten Pidie yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Aceh Barat. Dari ibu kota Provinsi Aceh, Kota Banda Aceh, butuh waktu lima jam dengan jarak tempuh 210 kilometer.
Demam emas di Geumpang mulai marak sejak 2009 beberapa tahun konflik berakhir. Warga dari Pidie dan Jawa menyerbu hutan Geumpang untuk menambang.
Sempat beberapa kali dihentikan oleh pemerintah, namun godaan terlalu kuat, mereka tetap nekat menambang.
Di Geumpang, pola pertambangan ada tiga macam. Pertama, tambang tradisional menggunakan ayak. Penambang menggali dengan kedalaman satu meter.
Lumpur itu kemudian diayak di air mengalir untuk memisahkan butiran emas.
Penambang mengklaim cara ini tidak merusak lingkungan, sebab tidak menebang pohon, tidak mengeruk daerah aliran sungai, dan tidak menggunakan merkuri.
Kedua, menambang dengan menggunakan alat berat. Dengan pola ini kerusakan hutan dan daerah aliran sungai tidak terhindarkan.
Permukaan tanah dikeruk hingga kedalaman 10 meter. Pemisahan butir emas dilakukan dengan menggunakan karpet penyaring atau asbuk.
Pola ketiga adalah pengolahan dengan gelondong. Pola ini cukup berbahaya. Lubang-lubang tambang digali seperti jalur tikus dengan panjang lubang mencapai 100 meter.
Di Geumpang, lubang tambang seperti itu mencapai 1.500 lubang.
Merkuri digunakan oleh penambang pola ini. Material batu dan tanah hasil galian dimasukkan ke dalam gelondongan berupa tabung besi berisi air.
Lalu merkuri dimasukkan ke dalam tabung itu 1-2 sendok makan. Kemudian material dalam gelondongan itu digiling sampai menjadi lumpur.
Lumpur bercampur emas itu kemudian dimasukkan ke dalam tempayan. Emas bersama merkuri berada di dasar tempayan karena memiliki masa yang lebih berat.
Dengan menggunakan kain parasut emas itu disatukan, sedangkan lumpur dibuang ke anak-anak sungai.
Merkuri adalah zat kimia yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Tubuh yang terpapar merkuri dapat mengalami gangguan saraf, jantung, hati, dan kecacatan.
Merkuri masuk ke tubuh manusia melalui air dan makanan yang terpapar merkuri. Merkuri yang dibuang ke sungai mengancam kesehatan warga yang berada di hilir.
Penelitian Dr Sofia Dosen Bidang Kesehatan Lingkungan Dasar Biokimia dari Fakultas Kedokteran Universitas Syiah di empat desa di Kecamatan Krueng Sabee, Kabupaten Aceh Jaya, Aceh cukup mengejutkan. Dari 72 orang sampel, sebanyak 92,28 persen positif terpapar merkuri.
Namun, di Geumpang belum ada penelitian tentang paparan merkuri. Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Pidie Muslim mengatakan penelitian baru akan dilakukan pada 2018.
Padahal, tambang ilegal di sana sudah berlangsung sejak 2009.
Mata pencaharian
Di perkirakan lebih 20.000 orang menjadi pekerja di tambang ilegal di Geumpang. Penghasilan tergantung pada pola tambang di mana mereka bekerja.
Sebagian dari mereka menjadikan butir-butir emas itu sebagai mata pencaharian.
Fauzi (28), bersama istrinya Nurrahmi (24) penambang tradisional Geumpang yang ditemui di lokasi tambang mengatakan biaya hidup mereka bertopang pada tambang.
Sehari mereka memperoleh Rp 50.000 – Rp 300.000. “Kami sudah dua tahun menambang, ini pekerjaan paling mudah untuk orang tidak bersekolah,” kata Fauzi.
Hari itu ada sekitar 30 orang warga yang menambang secara tradisional di lokasi itu. Mereka mengaku sudah lebih setahun menambang di lokasi tersebut.
Namun, tiga bulan lalu sejumlah alat berat menjamahnya. Hanya dalam satu bulan sungai dan hutan hancur.
“Kalau tidak ada beko (alat berat) kami bisa menambang di sini berpuluh-puluh tahun. Mereka yang merusak alam,” ujar Fauzi.
Sementara hasil yang diperoleh penambang gelondongan dan menggunakan merkuri dalam sebulan mencapai 8 ons hingga 24 ons.
Emas itu dijual mengikuti harga emas dunia. Harga jual sekitar Rp 50 juta per ons. Artinya dalam sebulan pendapatan dari satu lubang sebesar Rp 400 juta hingga Rp 1,2 miliar.
Emas itu dijual ke toko-toko emas di Kota Beureunuen, Pidie dan Banda Aceh.
Camat Geumpang Ishak mengatakan ribuan warga di kecamatan itu bergantung hidup dari tambang emas. Namun, seharusnya tambang dilakukan dengan bijak tanpa merusak hutan dan sungai.
“Petambang tradisional saya rasa tidak masalah, yang harus dihentikan tambang pakai alat berat dan merkuri,” ujar Ishak.
Upaya pemerintah penutup tambang ilegal itu kerap mendapat perlawanan dari penambang. Pada 2014 ribuan penambang melakukan demo menolak rencana pemerintah menutup tambang.
Setelah itu tidak banyak upaya pemerintah untuk menertibkan tambang ilegal.
Alex (24) seorang penambang mengatakan, para penambang akan berjuang keras untuk tetap bisa menambang sebab mereka sudah enak hidup dari hasil tambang. “Para penambang siap mati,” kata Alex.
Kata Alex, sebelum ke lokasi tambang mereka sudah menyatakan siap mati di lubang tambang dan tidak akan menunut secara hukum pemodal.
Data dari Walhi Aceh sepanjang tahun 2010 hingga 2016 sebanyak 27 orang pekerja meninggal akibat tertimbun longsor di lobang tambang Geumpang.
Menambang bencana
Sejatinya tambang ilegal di Geumpang sama halnya menambang bencana. Geumpang sebagai kawasan tangkapan hujan memiliki peran penting bagi keseimbangan ekologis.
Kerusakan hutan Geumpang mengancam kehidupan puluhan ribu warga di Geumpang, Tangse, dan Lamno (Aceh Jaya).
Dosen Ekologi Universitas Syiah Kuala Ibnu Rusidy menuturkan, kerusakan hutan di Geumpang sangat memprihatinkan.
Kerusakan hutan mengancam terganggunya lapisan air yang ada di permukaan. Akibatnya, banjir bandang dan longsor mengancam Geumpang dan daerah sekitarnya.
Kata Ibnu, kerusakan DAS berdampak pada potensi bencana banjir bandang. Pohon yang ditebang sepanjang pinggir sungai akan mempercepat laju erosi sungai dan longsor tebing.
“Tanah longsor ini akan membentuk bendungan alami, membendung air dan apabila bendungan tidak sanggup lagi menahan air maka terjadilah banjir bandang,” kata Ibnu.
Bukan hanya itu, bencana lebih besar lagi juga mengancam warga Pidie. Penggunaan merkuri berdampak pada kesehatan warga.
Jika tubuh manusia terpapar merkuri organ vital akan rusak. “Tercemarnya air tanah dengan merkuri akan berakibat fatal bagi generasi Aceh ke depan,” ujar Ibnu.
Sejatinya dua kecamatan bertetangga ini yakni Geumpang dan Tangse sangat rawan terhadap bencana hidrologi. Pada 1977 banjir bandang pernah meluluhlantakkan Tangse.
Belasan orang tewas dan ratusan rumah rusak. Bencana serupa kembali terjadi pada 2011 dan menewaskan 22 orang. Sementara banjir luapan terjadi setiap akhir tahun.
Kerusakan hutan kawasan geumpang juga memicu konflik satwa liar dengan manusia. Gajah kehilangan habitat turun ke permukiman untuk mencari makanan.
Warga mengalami kerugian karena perkebunan dan lahan sawah diamuk gajah.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Aceh Komisaris Besar Erwin Zadma berkomitmen menutup tambang ilegal di Geumpang dan menghentikan penggunaan merkuri. Langkah awal sudah dilakukan dengan melakukan operasi.
Polisi akan mengawasi rutin di Geumpang agar penambang tidak kembali ke lokasi tambang.
Namun, faktanya, satu minggu setelah operasi tersebut, Alex bersama rekan-rekannya yang lain mengakui kepada Kompas baru saja masuk ke lokasi tambang.
“Kalau ada operasi lagi kami langsung tahu karena ada yang membocorkan informasi,” kata Alex.
Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah I Fajri mengatakan, penutupan sulit dilakukan karena bisnis tersebut melibatkan banyak pihak mulai dari masyarakat hingga oknum penegak hukum.
Fajri mengatakan, hutan yang telah rusak itu perlu segera direhabilitasi supaya fungsi hutan kembali seperti seperti semula.
Menurut Fajri, pengelolaan hutan dengan skema perhutanan sosial merupakan salah satu solusi supaya warga terberdayakan dan alam terselamatkan.
Jika tidak segera diambil langkah tegas penyelamatan hutan Geumpang, ancaman bencana alam dan bencana kemanusian akibat dari pertambangan ilegal akan terus menghantui warga.