Kerja Sama Kemanusiaan Bisa Menjadi Perekat Antarumat Beragama
Oleh
Frans Pati Herin
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Hubungan antarumat beragama terus didorong agar tidak lagi berhenti pada fase dialog, tetapi diwujudkan melalui kerja sama kemanusiaan, seperti bidang pendidikan, kesehatan, dan bantuan untuk korban bencana. Lewat aksi nyata tersebut, kerukunan dan perdamaian sejati akan lebih mudah tercapai.
Demikian salah satu pokok pikiran yang mengemuka dalam tatap muka antara Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antaragama dan Peradaban Din Syamsuddin dengan sejumlah pendeta Kristen Protestan Maluku (GPM). Dialog berlangsung di gedung Gereja Protestan Bethania, di Ambon, Kamis (14/12).
”Agama-agama ini memang dari Tuhan, tetapi tidak untuk Tuhan itu sendiri. Agama itu untuk umat manusia dan kemanusiaan. Di semua kitab suci ada penyebutan tentang itu,” kata Din seraya mencontohkan Islam sebagai rahmat bagi alam semesta, bukan bagi kaum tertentu saja.
Menurut dia, kerja kemanusiaan menjadi perekat jika masih banyak perbedaan yang sulit dicari perekatnya. Kerja kemanusiaan diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti layanan kesehatan dan pendidikan dengan melibatkan pekerja kemanusiaan lintas agama. Dia mencotohkan, di Yogyakarta ada kerja sama antara rumah sakit milik umat Kristiani dan Islam.
Di daerah-daerah perlu diperbanyak komunitas lintas agama dengan fokus kerja kemanusiaan. Dari situlah kerekatan akan terbangun antaranggota komunitas. Mereka nantinya menjadi agen pembawa pesan damai saat kembali ke keluarga dan lingkungan mereka. Lewat komunitas itu pula, pesan tentang harmoni dalam perpaduan akan tersampaikan kepada publik.
Din mengatakan, kendati pernah mengalami konflik sosial bernuansa agama, masyarakat Maluku memiliki modal sosial dan budaya yang besar untuk memulai kerja kemanusiaan lintas agama. Salah satu modal adalah hubungan pela dan gandong.
Pela adalah hubungan antarwarga dua desa atau lebih dengan saling menyatakan sebagai sesama saudara. Adapun hubungan gandong adalah hubungan antarawarga dua desa atau lebih yang dalam sejarahnya, pemimpin desa-desa itu berasal dari satu rahim.
Hubungan itu terwujud lewat aksi nyata, seperti pembangunan gereja dan masjid yang dikerjakan bersama warga desa yang terjalin hubungan pela atau gandong. Seperti contoh, pada November lalu umat Islam dari Desa Hitulama dan Hitu Messing, Kabupaten Maluku Tengah, ikut membangun gedung gereja Kristen Protestan di Desa Galala, Kota Ambon. Tiga desa itu terjalin hubungan pela.
Tatap muka Kamis pagi itu juga dihadiri Ketua Majelis Pekerja Harian Sinode Gereja Protestan Maluku Ates Werinussa dan Asisten Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antaragama dan Peradaban Jack Manuputty. Dalam dialog, sejumlah pendeta menyampaikan bahwa konflik Ambon belasan tahun silam bukan karena masalah agama.
Terungkap, kepentingan politik elite menjadi penyebab konflik Ambon beberapa tahun lalu. Karena itu, diharapkan, elite politik harus memberikan contoh, termasuk tidak menjadikan agama sebagai alat untuk mencapai kepentingan politik. Ada oknum tertentu yang sengaja membenturkan masyarakat Maluku.
Andil elite politik dalam merusak kerukunan juga kembali mengemuka dalam dialog tokoh lintas agama bersama Din di gedung Islamic Center, Ambon, Kamis petang. Turut hadir dalam dialog itu Gubernur Maluku Said Assagaff, Kepala Polda Maluku Inspektur Jenderal Deden Juhara, dan Rektor Univeristas Pattimura MJ Sapteno.
Menurut Said, pela, gandong, dan beberapa kearifan lokal lain masih menjadi senjata perekat di Maluku. Kini sudah ada hubungan pela baru, yakni antarsiswa di beberapa sekolah dan antarmahasiswa. Dua perguruan tinggi yang sudah merajut pela adalah Universitas Kristen Indonesia Maluku dan Institut Agama Islam Negeri Ambon.