Nelayan Dukung Pelestarian Lingkungan
SEI RAMPAH, KOMPAS — Sekitar 2.000 nelayan yang tergabung dalam Aliansi Nelayan Sumatera Utara mendeklarasikan pengelolaan lingkungan berkelanjutan untuk menjaga kepulauan Indonesia. Para nelayan menyatakan tekad menjaga pesisir laut Sumatera Utara yang selama ini menghidupi mereka dari alat tangkap yang merusak lingkungan.
Deklarasi dibacakan dalam acara Rembuk Nelayan Sumut di tepi Selat Malaka, tepatnya di Pantai Sialang Buah, Kecamatan Teluk Mengkudu, Kabupaten Serdang Bedagai, Kamis (14/12). Deklarasi itu kemudian diserahkan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang hadir di acara tersebut.
Hadir pula Ketua Komisi IV DPR Edhy Prabowo, Gubernur Sumut Tengku Erry Nuradi, Direktur Kepolisian Perairan dan Udara Polda Sumut Komisaris Besar Sjamsul Badhar, dan Komandan Pangkalan TNI AL I Belawan Laksamana Pertama Ali Triswanto.
Deklarasi itu menyatakan penolakan nelayan terkait penggunaan alat tangkap yang merusak lingkungan dan mendukung penggunaan alat tangkap ramah lingkungan dan berkelanjutan. ”Pada saat bersamaan, kami mendukung negara segera menjalankan amanat para pendiri bangsa untuk menghentikan segala bentuk penggunaan alat tangkap yang merusak,” kata Sekjen Federasi Serikat Nelayan Nusantara Muhammad Yamin yang membacakan deklarasi.
Kami mendukung negara segera menjalankan amanat para pendiri bangsa untuk menghentikan segala bentuk penggunaan alat tangkap yang merusak
Nelayan juga meminta Perda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Pesisir di Sumatera, melindungi hak warga pesisir, dan mendukung subsidi perikanan bagi petani kecil. Hal itu sesuai UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.
Ketua Panitia Rembuk Nelayan Sutrisno mengatakan, kegiatan itu dibiayai nelayan dengan iuran Rp 10.000 per nelayan dan terkumpul dana Rp 40 juta. Namun, karena masih kurang, panitia kemudian mencari donatur. Para nelayan dari tujuh kabupaten di Sumut itu, bahkan hadir membawa makanan sendiri.
Banyak pukat sejak 1999
Dalam dialog dengan Menteri Susi Pudjiastuti, perwakilan nelayan meminta pemerintah menghentikan beroperasinya pukat trawl, pukat harimau atau pukat hela yang di Jawa dimodifikasi menjadi cantrang. Pukat trawl telah membuat penghasilan nelayan tradisional melorot.
Adrin, nelayan asal Batu Bara, kepada wartawan mengatakan, pukat trawl marak di Batu Bara sejak 1999. Hingga kini diprediksi ada 4.000 pukat masih beroperasi. Bentrok nelayan tradisional dengan pemilik pukat pernah terjadi pada 2001 yang menyebabkan tujuh nelayan tewas. ”Dulu kami bisa mendapat ikan 25 kilogram sehari, sekarang cuma Rp 5 kilogram,” kata Adrin.
Usup, kawan Adrin, menambahkan, nelayan tradisional juga banyak yang ikut menjalankan pukat trawl karena penghasilan sebagai nelayan tradisional terus menurun. Biasanya mereka menggaet modal dari cukong untuk pengoperasian pukat trawl. Pukat dengan dua jaring itu dikenal bisa menggaruk seluruh isi laut termasuk ikan-ikan kecil.
Nelayan mendukung langkah Menteri Kelautan dan Perikanan menjalankan Keputusan Menteri Nomor 02 Tahun 2015 dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 71/Permen- KP/2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkap Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.
Susi mengatakan, tidak membantu pembiayaan acara karena enggan dituduh menteri provokasi. Ia menyatakan, pukat trawl yang beroperasi saat ini ilegal. Di Jawa, kerugian akibat penggunaan kapal trawl atau yang dimodifikasi menjadi cantrang, sesuai perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan, sekitar Rp 13 triliun.
Karena itu, perikanan berkelanjutan tak bisa ditawar. ”Dulu Bagansiapi-api pelabuhan ikan terbesar, hancur karena pukat harimau. Saya tidak rela kalau tempat lain akan mati,” kata Susi yang juga meminta pemerintah daerah berpihak pada nelayan.
Tiga tahun terakhir sudah 350 kapal asing ditenggelamkan. ”Pemerintah tidak bisa memberi uang tunai, tetapi bisa memberikan laut yang aman dan tolong dijaga,” ujar Susi. (WSI)