MANADO, KOMPAS — Stigmatisasi atau label terhadap perempuan Sulawesi Utara melalui ”jargon pariwisata” ke Manado menikmati ”3B” (Bunaken, Bubur, dan Bibir) dinilai melecehkan martabat kaum perempuan Sulawesi Utara.
Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Anak Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara Meike Pakong, Jumat (15/12), mengatakan, stigmatisasi ini ditolak menyusul deklarasi perempuan Sulawesi Utara dalam seminar bertemakan ”Martabat Perempuan Sulawesi Utara”, beberapa waktu lalu.
”Kami telah berkumpul dan deklarasi menolak stigmatisasi itu. Seluruh tokoh perempuan di Sulawesi Utara telah menandatangani deklarasi itu untuk disampaikan ke DPRD Sulut,” katanya.
Koordinator LSM Swara Parampuang Sulawesi Utara, Lili Djenaan, mengatakan, stigmatisasi perempuan Sulut untuk menarik orang datang ke Manado telah salah kaprah.
Ia merasa miris atas sikap pelancong yang terus mengumbar istilah 3B tersebut.
”Saya marah saat berada di pesawat menuju Manado, beberapa bapak-bapak bercanda soal 3B. Saya bilang tidak benar, perempuan Sulawesi Utara bermartabat,” katanya.
Selanjutnya, Meike Pakong mengatakan, setelah istilah 3B, muncul istilah ”5B” yang lebih memprihatinkan.
Jargon 5B, yakni Bunaken, Bubur, Bibir, Boulevard/Bukit Kasih, dan Body, sungguh melecehkan martabat perempuan Sulawesi Utara.
”Saya tidak mengerti kenapa jargon itu muncul hanya untuk menarik wisatawan datang ke Manado. Lebih baik tidak ada turis daripada martabat perempuan Sulut dilecehkan,” katanya.
Menurut Meike, perempuan Sulawesi Utara mendeklarasikan enam poin menyangkut kehidupan jender di daerahnya.
Adapun hal lain yang menjadi sorotan yakni mendorong segera disahkannya rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual yang berpihak kepada korban.
Selain itu, ada pula dorongan penyelesaian revisi Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2004 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Manusia menjadi lebih responsif jender dan berpihak kepada korban.
Poin lainnya meminta aparat hukum, polisi, jaksa, dan hakim untuk menindak kasus-kasus kekerasan berbias jender dengan adil dan responsif jender.
Dikatakan, perdagangan manusia, terutama anak gadis ke daerah Papua, Maluku, dan Kalimantan, menjadi kasus krusial di Sulawesi Utara.
Ia menyatakan ironi karena para pelaku perdagangan itu adalah orang Sulawesi Utara sendiri.
”Banyak yang sudah dihukum, tetapi setiap tahun kasus perdagangan manusia terus terjadi. Kami minta aparat hukum bertindak tegas melindungi perempuan Sulawesi Utara,” katanya.
Sebaliknya, Meike menyatakan kebanggaannya terhadap perempuan Sulawesi Utara yang meraih predikat terbaik dalam pemberdayaan jender tingkat nasional.
Menurut dia, jumlah pekerja perempuan di pemerintahan hampir sebanding dengan jumlah pekerja laki-laki.
Di lingkungan Pemprov Sulawesi Utara, 48 persen pegawai adalah perempuan dan 11 orang pejabat kepala dinas dan kepala biro adalah perempuan.
Dikatakan, perempuan Sulut selalu merasa sama dan sebanding dengan laki-laki dalam berbagai bidang pekerjaan.
Dari 15 kepala daerah kabupaten dan kota, lima bupati adalah perempuan dan dua wakil wali kota serta wakil bupati.