Malu Kedatangan Tamu, Kini Punya Jamban
Awalnya dipicu rasa malu. Malu kepada tamu, malu kepada calon besan. Ketika tamu ingin numpang buang air kecil atau buang air besar, warga pinggiran hutan di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur tidak punya jamban. Jangankan WC, kamar mandi saja tidak ada.
Mereka sudah terbiasa mandi di sumber air untuk umum. Mereka juga terbiasa buang air besar sembarangan di tegalan, di hutan atau di sungai.
Rasa malu itu akhirnya mengusik warga dan mengubah kebiasaan mereka.
Warga berupaya punya jamban (WC) dengan mengajukan kredit sanitasi.
Setidaknya itu dilakukan Reni (40) warga Dusun Balong, Desa Turi, Kecamatan Tambakrejo dan Supeni (42) warga Desa Kolong, Kecamatan Ngasem.
Reni menuturkan, warga RT 14 dan RT 16 RW 3 Dusun Balong belum memiliki akses air bersih dan jamban sendiri.
Kebutuhan air setiap hari untuk masak, mandi dan mencuci diambil dari sumur di tengah hutan. Jarak sumur dari rumahnya sekitar 700 meter.
Warga membawa jeriken untuk mengangkut air dari sumur ke rumah. Saat kemarau warga antre di sumber air.
“Kami biasanya sampai menginap, sambil membawa tikar untuk istirahat sambil menunggu antrean,” katanya, Sabtu (18/11).
Saat musim hujan, warga tidak perlu ke hutan, tetapi mengambil air di sumur resapan milik Siti Nurjanah, tetangganya. Air itu diambil secara cuma-cuma.
Pertengahan tahun ini, saluran air yang dikelola desa, Himpunan Pengguna Air Minum (HIPAM) mulai masuk, tetapi alirannya belum lancar.
Reni sudah pasang saluran HIPAM, tetapi sumur di hutan tetap jadi andalan.
Kini, keluarga Reni punya kamar mandi, tetapi belum punya WC.
Keluarganya, yang pertama punya kamar mandi di kampungnya. Kamar mandi itu dibangun dari pinjaman Koperasi Mitra Dhuafa (Komida) sebesar Rp 4 juta pada 2015.
Bulan ini angsurannya lunas. Ia ingin pinjam lagi Rp 5 juta untuk jamban.
“Selama ini, jika ingin buang air besar ya ke hutan. Repotnya harus bawa air untuk cebok,” katanya.
Mayoritas warga Balong adalah pesanggem (petani penggarap lahan Perhutani).
Bila mau BAB, warga ke jumbleng (lubang besar untuk BAB yang diberi dua kayu untuk jongkok saat BAB) di tengah hutan. Sekeliling jumbleng hanya ditutupi kain seadanya.
Terpisah, Supeni (42), warga Dusun Kedung Ngingas, Desa Kolong, Kecamatan Ngasem kini punya kamar mandi dan toilet plus septiktank di belakang rumah.
Ia membangun kamar mandi dan WC karena malu saat ada tamu ingin ke WC, tidak tersedia.
“Lantai masih tanah tak apa-apa, yang penting punya jamban,” kata Supeni.
Warga di RT 19 RW 04 di kampungnya juga sudah terbiasa buang hajat di tegalan atau hutan.
Ia risih, ketika ada tamu yang datang kalau ingin BAB kerepotan, karena tak ada WC.
Anak perempuannya juga beranjak dewasa, bisa malu pada calon besan.
Menurut Supeni, sebetulnya, ada program pemerintah dalam pengadaan jamban.
Bantuan disalurkan lewat desa berupa dua unit bis cor semen untuk septiktank dan resapan, satu closet dan ongkos tukang Rp 30.000.
“Tanpa bantuan dana pihak lain, kami tak bisa bangun jamban. Biaya buat kamar mandi dan WC habis 10 juta,” paparnya.
Kini ia tidak malu lagi bila ada tamu buang air kecil atau besar.
Hanya, ia belum punya saluran sanitasi. Air bersih masih diangkut dari sendang (sumber air) yang berjarak sekitar 500 meter dari rumah.
“Biasanya angkut air dengan jeriken dan dibawa pakai motor,” katanya.
Tantangan
Direktur Operasional Komida, Sugeng Riyono menyebutkan ada 62.345 atau 36,6 persen dari 170.000 anggota yang belum punya jamban layak dan sehat.
Berdasarkan survei internal Komida pada Juli 2014, ada 32.077 anggota Komida belum punya toilet dan 30.268 punya toilet tapi tanpa septiktank.
Pihaknya memasukkan pembiayaan sanitasi sebagai target manajemen kinerja sosial (SPM) dan indikator keberhasilan cabang selain kinerja keuangan.
Upaya mendukung program itu disertai pelatihan staf lapang, seleksi dan pelatihan tukang, serta mendorong anggota agar punya kesadaran memiliki jamban.
Menurut Tenaga Ahli Komida Farli Mei Saputra, tantangan terbesarnya adalah mengubah pola pikir dan perilaku warga yang beranggapan perilaku Buang Air Besar Sembarangan (BABS) sudah lumrah.
Setiap kunjungan lapangan, timnya sengaja “numpang ingin ke belakang”. Dipicu rasa sungkan, warga berupaya punya jamban.
Ibu-ibu anggota Komida pun mengajukan kredit sanitasi yang dibayarkan secara minggon (mingguan).
Staf Lapang Komida, Boby Slamet menjelaskan pinjaman tanpa agunan dibayar dalam 50-100 minggu.
Awalnya anggota mengajukan pinjaman umum untuk modal usaha Rp 2 juta diangsur selama 50 minggu.
Setelah lunas, mereka bisa mengajukan pinjaman khusus sanitasi baik saluran air maupun jamban.
Plafon maksimal pinjaman sanitasi Rp 6 juta sedangkan pinjaman umum maksimal Rp 7 juta.
Manager Advokasi water.org Andi Musfarayani menyatakan pihaknya mendampingi Komida mensosialisasikan pentingnya sanitasi dan ketersediaan air bersih bagi kesejahteraan warga.
Bantuan itu tidak diberikan gratis agar menumbuhkan rasa tanggung jawab, warga merawat kamar mandi atau jambannya.
Bojonegoro menjadi salah satu perhatian, karena 11 persen masyarakatnya melakukan BABS.
Selain itu masih ada warga yang belum bisa mengakses sanitasi dan air bersih.
Efek sanitasi yang buruk dikhawatirkan menyebabkan pertumbuhan anak tidak baik, kurus, kurang sehat dan kerdil (stunting).
Isu akses air bersih dan sanitasi tidak semata-mata merupakan tanggung jawab dari pemerintah, namun juga dari masyarakat.
“Kami ingin semua warga punya akses air bersih dan sanitasi,” kata Musfarayani.
Pada 2019 Indonesia ingin mencapai target universal akses yakni 100 persen akses bersih, 0 persen kumuh dan 100 persen sanitasi.
Hingga saat ini baru tercapai akses air bersih 71,14 persen dan sanitasi 67,2 persen.
Pihak ketiga
Pada 2016, penduduk Bojonegoro tercatat 1.453.880 jiwa atau 453.726 keluarga (KK).
Pada 2017, sebanyak 85,4 persen keluarga di Bojonegoro sudah punya jamban dari target 96 persen.
Lima kecamatan menyandang status Open Defecation Free (ODF) atau bebas BAB sembarangan yakni Kecamatan Baureno, Bojonegoro, Dander, Ngambon dan Gayam.
Menurut Sekretaris Kabupaten Bojonegoro Soehadi Moelyono, kesuksesan ODF perlu dukungan pembiayaan dan sumber daya baik swadaya masyarakat maupun pihak ketiga.
Operator migas Lapangan Banyu Urip, ExxonMobil Cepu Limited (EMCL) memasukkan jamban dalam program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
Pada 12 April lalu, EMCL mendonasikan 550 jamban sehat di Desa Cengungklung, Manukan, Sudu, Beged dan Desa Ngraho, Kecamatan Gayam.
Sejak 2008, EMCL membantu 3.000 jamban sehat di di Bojonegoro, Tuban, dan Blora.
Pada 2017, Pertamina Eksplorasi Produksi Cepu (PEPC) membantu akses sanitasi melalui bantuan jamban.
Sejak disosialisasikan 21 April hingga Agustus 2017, ada 260 jamban sehat yang dibangun di sekitar proyek Jambaran Tiung Biru.
Jamban sehat itu tersebar di Desa Bandungrejo, Kecamatan Ngasem; Desa Dolokgede, Kecamatan Tambakrejo; serta Desa Pelem dan Desa Kaliombo, Kecamatan Purwosari.
Di sekitar area operasi PEPC tercatat ada 797 KK dari 2.830 KK yang belum punya jamban.
Komando Distrik Militer (Kodim) 0813 Bojonegoro juga melaksanakan program pembuatan jamban bagi masyarakat kurang mampu di 28 kecamatan.
Pada 2016, dibangun 244 jamban di 28 kecamatan, sedangkan pada 2017 ada 415 jamban yang dibangun.