Berat Hidup Hadapi Bencana
Beberapa kali disapa gempa, Muhammad Yazdi Ali (35), warga Desa Gunungsari, Kecamatan Sadananya, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, belum juga tahu hidup aman bersama bencana. Bahkan, setelah nyawa ibunya direnggut, Ali masih kebingungan.
Ibunya, Ny Dede Lutfi (60), meninggal saat gempa bermagnitudo 6,9 menggoyang selatan Jawa, Jumat (15/12). Tubuh tuanya tertimpa reruntuhan bangunan rumah.
Sang suami, Lutfi (61), menderita patah tulang punggung akibat terjepit reruntuhan. Kerabat lainnya, Ajat (70), hingga kini masih tak sadarkan diri setelah tertimpa reruntuhan yang sama.
”Saat gempa, ibu dan ayah berada di lantai dua. Mereka mencoba menyelamatkan diri. Namun, hanya hitungan detik, rumah ambruk. Ibu sempat berselawat sebelum meninggal. Ia pergi selamanya dalam keadaan sujud,” kata Ali, di Ciamis, Minggu.
Rumah bertingkat dua itu sebenarnya baru dibangun 1,5 tahun lalu. Lantai pertama bahkan belum rampung. Dindingnya batu bata tanpa plester semen. Dana untuk membangun rumah berukuran 6 meter x 8 meter itu lebih dari Rp 100 juta.
”Saya tidak tahu cara mengantisipasi gempa. Kalau sejak awal diberi tahu, pasti akan sangat berguna,” kata Ali.
Kepala Desa Gunungsari Yoyo Komarudin juga tidak tahu soal rumah tahan gempa. Ia sama bingungnya dengan warga lainnya. ”Kalau ada rumah yang bisa tahan gempa, harganya berapa, ya? Semoga tidak mahal,” ujar Yoyo.
Seperti milik Ali, rumah Yoyo juga rusak. Ia memperkirakan perbaikan rumah mencapai Rp 4 juta.
Minimnya pengetahuan warga tentang rumah tahan gempa di Ciamis adalah ironi. Alasannya, Ciamis menjadi salah satu daerah yang paling parah terdampak gempa di pengujung 2017 ini. Dua dari empat korban meninggal berasal dari Ciamis. Selain Dede, korban tewas lainnya adalah Masiah (55). Sakit jantung Masiah kambuh karena ketakutan merasakan goyangan gempa besar dan lama.
Tidak hanya itu, menurut Badan Penanggulangan Bencana Daerah Ciamis, enam orang terluka, 1.104 rumah rusak.
Minimnya pengetahuan hidup di tanah bencana juga dialami Kanan (74), warga Desa Gunajaya, Kecamatan Manonjaya, Tasikmalaya. Ia tidak percaya rumahnya rusak untuk kedua kalinya. Gempa menghancurkan rumah berukuran 20 meter x 10 meter itu. Kerusakannya lebih parah dibandingkan dengan gempa 2009.
”Saat itu, hanya sebagian bangunan rumah yang rusak,” katanya.
Kanan mengatakan, bukannya tidak mau membangun rumahnya aman dari bencana. Ia buta dengan semua itu. Kanan bahkan tidak tahu bentuk bangunan tahan gempa dan berapa dana yang dibutuhkan.
Dede Wahyudin (35), warga Manonjaya lainnya, juga penasaran seperti apa bentuk rumah tahan gempa. Dede berharap diberi tahu agar gempa tidak lagi mengganggu hidup dirinya dan keluarganya.
”Saat gempa kemarin, gempa meruntuhkan dinding rumah dan menimpa istri dan dua anak saya,” katanya.
Kejadian itu, kata Dede, mengingatkannya pada gempa 2009. Ironisnya, belum juga renovasi akibat kejadian itu rampung, rumahnya ambruk lagi pada Sabtu lalu.
Miskin
Akan tetapi, sekadar tahu saja tak cukup. Tanpa biaya dan ilmu yang cukup, pengetahuan itu tak mampu menenangkan warga dari kecemasannya.
Di Desa Jayapura, Kecamatan Cigalontang, Kabupaten Tasikmalaya, misalnya, rumah tahan gempa sebenarnya sudah akrab di telinga warga.
Ma’mun (69), warga setempat, sudah lama ingin memiliki rumah tersebut. Namun, ia tak punya biaya. Penghasilannya sebagai petani hanya ratusan ribu rupiah setiap bulan.
”Tahun 2009, rumah saya juga hancur karena gempa. Saat ini hancur lagi. Jika dulu hanya butuh Rp 10 juta untuk memperbaikinya, sekarang butuh sekitar Rp 35 juta. Saya bingung cari uangnya,” katanya.
Kepala Desa Jayapura Suratman mengatakan, warga di desanya sudah mendapatkan sosialisasi tentang gempa bumi sejak 2009. Rumah tahan gempa juga sudah ditawarkan, baik berbentuk rumah panggung bambu maupun dibuat dari beton.
Konsepnya, kata Suratman, datang dari dinas pekerjaan umum setempat. Namun, ia menduga konsep itu belum dilakukan warga karena keterbatasan ekonomi.
”Desa Jayapura berada di jalur patahan. Setiap ada gempa besar, baik Aceh maupun selatan Jawa, dampaknya sampai ke sini. Namun, keterbatasan hidup membuat kami sulit menghadapinya,” tuturnya. (IKI/SEM/BKY)