Dorong Pariwisata Kopi Gayo
Wakil Gubernur Aceh Nova Iriansyah mengatakan, pengembangan kopi gayo akan dibangun sejalan dengan upaya pemerintah meningkatkan devisa pariwisata.
”Pengembangan itu bisa dimasukkan ke dalam ekonomi kerakyatan, kebudayaan, dan ekonomi kreatif lainnya,” kata Nova seusai membuka Festival Panen Kopi Gayo, di Desa Gunung Suku, Takengon, Aceh, Sabtu (16/11).
Festival yang diselenggarakan secara swadaya oleh petani, seniman, budayawan, serta pegiat kopi ini menyuguhkan sejumlah kegiatan mulai dari ritual tolak bala, tradisi lisan melayu tua ”Didong”, hingga pentas jazz kopi gayo.
Untuk mendukung pariwisata kopi gayo, Nova mengatakan, pemerintah berencana membangun Kawasan Ekonomi Khusus Gayo-Alas. Tahun depan akan diselenggarakan juga pergelaran pariwisata ”Gayo Alas Mountain International Festival”.
”Pameran itu akan memadukan unsur agroindustri, wisata, budaya, temu bisnis, hingga seminar akademik,” katanya.
Produktivitas rendah
Kopi gayo menghampar di Dataran Tinggi Gayo mulai dari Kabupaten Gayo Lues, Aceh Tengah, hingga Bener Meriah. Meski merupakan perkebunan kopi rakyat terluas di negeri ini, produktivitasnya masih rendah, 750 kilogram per hektar. Jumlah itu jauh di bawah produktivitas sentra kopi di negara Asia lainnya atau di Amerika Selatan, sekitar 1 ton per hektar.
Diakuinya, produktivitas kopi rendah karena banyak tanaman telah berusia tua terlambat diremajakan. ”Kita terlambat melakukan peremajaan,” ujar Nova.
Tahun depan, pihaknya mengalokasikan anggaran peremajaan kopi. Targetnya, 2-3 tahun ke depan, produktivitas kopi gayo mencapai 1,5 ton per hektar.
Menurut Bupati Aceh Tengah Nasaruddin, kopi gayo diharapkan tidak sebatas dijual dalam bentuk biji. Biji bisa disangrai atau diolah menjadi kopi bubuk agar mampu memberikan nilai tambah. Di Aceh Tengah, ada 35.000 keluarga menyandarkan penghidupan dari 48.000 hektar kebun kopi rakyat.
Ke depan, Nasaruddin, mengatakan, kesejahteraan petani harus ditingkatkan. Perlu ada regulasi yang memperkuat posisi tawar petani hingga dukungan di sektor hulu kopi. Salah satunya mendukung perlindungan indikasi geografis kopi arabika gayo agar kopi terus memberikan manfaat bagi masyarakat.
Penelusuran Kompas, Sabtu-Minggu, sektor hilir kopi kian menggeliat. Sejumlah petani memanfaatkan kebunnya sebagai aset wisata. Di Aceh Tengah, petani membuka kedai kopi di tengah kebun. Wisatawan berkunjung menikmati minuman sekaligus melihat langsung budidayanya di kebun.
Wisata kopi
Di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, petani kopi di kawasan Gunung Kelir juga berusaha mengembangkan wisata edukasi. Wisatawan diajak mengenal budidaya kopi dari hulu hingga hilir. Harapannya kesejahteraan petani lokal bisa makin terangkat.
Camat Jambu, Kabupaten Semarang, Sri Edi Sukarno mengatakan, program edukasi kopi ini merupakan langkah kreatif petani kopi Kelompok Tani Rahayu IV Sirap. Edukasi kopi diharapkan menjadi lokomotif peningkatan kesejahteraan petani kopi agar mereka tidak lagi hanya menjual kopi mentah.
”Program edukasi kopi merupakan gaya baru dalam pemasaran kopi rakyat. Kegiatan ini mendorong peningkatan ekonomi warga di Jambu yang mencapai sekitar 12.000 keluarga,” kata Sukarno.
Promosi kopi gunung kelir, menurut Sukarno, semakin lengkap dengan paket edukasi kopi. Wisatawan tidak hanya diajak menanam, memanen, dan mengolah kopi, mereka juga akan menyaksikan budaya petani kopi di Gunung Kelir yang memiliki sejumlah tari-tarian kesenian tradisional.
Keunggulan Gunung Kelir juga berada di jalur wisata unggulan. Salah satunya Museum Kereta Api Ambarawa. Kawasan ini juga dekat dengan obyek wisata Candi Gedong Songo di Bandungan serta Danau Rawa Pening.
Ketua Kelompok Tani Kopi Rahayu IV Ngadiyanto mengatakan, paket edukasi kopi ini merupakan evolusi keempat yang dilakukan petani kopi. Diawali mengolah kopi dengan mesin modern, memasarkan bubuk kopi berkualitas, hingga mengembangkan kedai kopi sendiri.
”Sekarang ada wisata edukasi kopi yang dipadukan dengan budaya dan kesenian masyarakat supaya dapat dinikmati wisatawan dalam negeri maupun luar negeri. Wisata edukasi ini tidak hanya memberikan manfaat bagi petani kopi, tetapi juga warga desa lainnya,” ujar Ngadiyanto.
Ngadiyanto menyatakan, kopi varietas Java Mocca yang diproduksi di Gunung Kelir terbukti berkualitas dan pernah meraih peringkat ketiga nasional pada kontes kopi spesial. Selain itu, komoditas ini ampuh meningkatkan pendapatan petani. Dalam setahun, petani bisa meraup hingga lebih dari Rp 20 juta per hektar.
Pejabat Pelaksana Kepala Dinas Pertanian, Perikanan, dan Pangan Kabupaten Semarang Syamsul Hidayat mengatakan, pemerintah daerah mendukung pengembangan kopi gunung kelir. Bupati Semarang Mundjirin telah menginstruksikan pelaku wisata, termasuk pengelola hotel, menjadikan kopi gunung kelir menjadi minuman utama bagi tamu hotel. (ITA/AIN/NSA/WHO)