BALIKPAPAN, KOMPAS — Ratusan pengemudi taksi dan ojek daring di Balikpapan, Kalimantan Timur, akan kembali berunjuk rasa, Senin (18/12) ini. Mereka mendesak pemerintah pusat dan daerah tegas mengatur regulasi transportasi daring.
Ketua Asosiasi Driver Online (ADO) Kaltim Albert Pagaruli, di Balikpapan, Minggu, mengatakan, aturan yang sudah ada atau sedang disiapkan daerah tidak adil. Misalnya, kuota taksi daring yang ditetapkan Dinas Perhubungan Kaltim hanya 975 unit. Jumlah itu jauh dari kuota yang diajukan ADO Kaltim sebanyak 3.500 unit.
”Kabupaten dan kota juga tengah menyiapkan aturan untuk ojek daring. Misalnya, Balikpapan menyiapkan peraturan wali kota (perwali). Dua bulan lalu kami meminta audiensi dengan dishub untuk ikut memberikan masukan, tetapi sampai sekarang tidak ada respons,” kata Albert.
Beberapa hal dalam draf perwali yang memberatkan antara lain terkait dengan sejumlah lokasi yang tidak boleh dituju pengemudi untuk mengambil penumpang maupun tempat mangkal. Selain itu, ada juga masalah terkait dengan kuota kendaraan yang dikhawatirkan bakal memicu keresahan pengemudi.
Albert mengatakan, saat ini, ada 8.000-an pengemudi ojek maupun taksi daring. Jumlah ini sudah berlebihan dan mengakibatkan pengemudi semakin sulit mendapat orderan.
”Aksi tidak hanya dilakukan di Balikpapan, tetapi juga di 10 kota lain, seperti Surabaya, Medan, Semarang, dan Makassar,” katanya.
Sebelumnya, unjuk rasa juga dilakukan ratusan pengemudi ojek dan taksi daring di Balikpapan, Oktober lalu. Mereka menyikapi unjuk rasa 1.500-an sopir angkot dan taksi yang menentang transportasi daring.
Selepas itu, sempat terjadi beberapa kali pertikaian antara kedua belah pihak. Hingga kini, mayoritas pengemudi, terutama ojek daring, belum berani mengenakan atribut perusahaannya.
Kadishub Kaltim Salman Lumoindong menyatakan, pemerintah daerah tidak bisa berbuat banyak terkait dengan persoalan pengemudi dengan pihak aplikator. Sebab, kantor pusat pihak aplikator tidak berada di daerah.
Acuan utama, ujarnya, tetap Permenhub Nomor 108 Tahun 2017 yang merupakan revisi atas Permenhub Nomor 26 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek. Aturan ini diterapkan sejak 1 November lalu, tetapi diberikan masa transisi selama 3 bulan.
”Pemprov menentukan kuota taksi daring, sedangkan pemkot menentukan aturan ojek daring. Pihak aplikator semestinya juga sudah tahu isi permenhub itu dan mulai menjalankan,” ujar Salman.
Pemerhati perkotaan dari Universitas Balikpapan, Piatur Pangaribuan, mendesak pemerintah daerah berani menekan pihak aplikator menerapkan sistem yang adil. Salah satunya terkait status karyawan bagi pengemudi transportasi daring. (PRA)