Berbagi Peran, Meretas Tradisi Lama
Noriyuki Ito (32) memutuskan untuk mengambil jatah cuti selama tiga bulan mengasuh anak. Kelahiran putri pertamanya, Saki, membawa kebahagiaan tak terkira. Momentum itu sekaligus memberi kesempatan baginya mengambil peran dalam rumah tangga.
Kini Saki telah berusia tiga tahun. Setiap pagi, Ito mengantarnya berangkat ke taman bermain, sementara sang istri berangkat ke kantor. Dari sekolah sang putri, Ito langsung menuju kantornya.
Sepulang dari kantor, Ito melaksanakan rutinitas mencuci piring. Berbagi tugas dengan istri jadi hal biasanya baginya.
Ito mengaku tak malu harus mengerjakan pekerjaan rumah. Dalam kehidupan klasik keluarga Jepang, pekerjaan domestik sepenuhnya dibebankan para ibu. Sementara sosok ayah selalu digambarkan sebagai pekerja yang memenuhi penghidupan keluarga. Kehidupan ayah identik dengan pergi pagi pulang malam.
Kondisi ini yang menimbulkan persoalan besar di ”Negeri Sakura”. Ada kecenderungan belakangan, kaum perempuan enggan menikah karena khawatir kariernya bakal berakhir setelah melahirkan dan mengasuh bayi. Tanggung jawab akan pekerjaan rumah tangga dan urusan mengasuh anak cenderung masih dibebankan sepenuhnya kepada perempuan.
Kementerian Komunikasi dan Hubungan Internal Jepang menyebut tingkat kelahiran terus menurun sejak 1995, berdampak mengancam ketersediaan tenaga kerja dan penerus bangsa di masa depan. Saat ini ada 2,74 juta perempuan di Jepang butuh bekerja, tetapi tidak punya kesempatan.
Hasil penelitian menunjukkan, besarnya manfaat pelibatan perempuan dalam sektor kerja. Goldman Sachs menyebutkan, pada 2014, menurunnya gap pekerja perempuan dan laki-laki akan mempercepat pertumbuhan ekonomi Jepang sebesar 13 persen. Dua tahun sebelumnya, Dana Moneter Internasional (IMF) menyatakan PDB per kapita Jepang akan empat kali lebih tinggi melalui pemerataan peluang kerja bagi perempuan dan laki-laki.
Untuk itu, Pemerintah Jepang mengeluarkan akta dasar kesetaraan jender. Implementasinya ditargetkan tercapai 2020. Dalam akta itu disebutkan tujuan terciptanya keberagaman dalam dunia kerja. Keberagaman itu dengan sejumlah penekanan, seperti mengurangi gap jender dengan cara mereformasi sistem kerja lama yang selama ini berorientasi pada sudut pandang laki-laki. Dalam pemberlakuan jam kerja, misalnya, selama ini sangat panjang, menyulitkan perempuan mengatur waktu antara bekerja dan mengasuh anak.
Dalam akta juga disebutkan pentingnya membuka peluang kerja lebih besar bagi perempuan. Di samping mendorong lebih banyak pekerja pria mengambil cuti mengasuh anak sebagaimana dilakukan Ito yang saat ini bertugas di Divisi Hubungan Umum Biro Kesetaraan Jender, Kantor Kabinet Jepang.
Di sektor PNS, partisipasi laki-laki mengambil cuti mengasuh anak hanya 3 persen tahun 2013 dan 5,5 persen pada 2015. Tahun 2020, ditargetkan menjadi 13 persen. Begitu pula partisipasi pria mengambil cuti mengasuh anak pada perusahaan swasta.
Ito mengatakan, sebelumnya memang ada kecenderungan pekerja laki-laki yang mengambil cuti mengasuh anak akan dipergunjingkan. Sebagian laki-laki khawatir kariernya terhambat jika mengambil cuti untuk jangka waktu panjang.
Ayah muda
Namun, menurut Ito, di masa kini kian tumbuh kesadaran di kalangan ayah muda akan pentingnya berbagi peran dalam rumah tangga. Terlebih, negara telah mendorong terciptanya keselarasan, dengan cara dukungan suami bagi istrinya, termasuk ketika sang istri memutuskan ingin kembali bekerja.
Dalam pertemuan perempuan sedunia/WAW! 2017 di Tokyo, awal November lalu, ditekankan pula kebijakan dan aturan yang menimbulkan kesenjangan jender. Tidak hanya di Jepang, tetapi berlaku di seluruh negara di dunia.
Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe optimistis perempuan dapat melakukan pencapaian besar jika diberi kesempatan yang sama. ”Perempuan bisa membangun berbagai usaha dengan perspektif baru dan nilai- nilai baru,” katanya.
Dukungan untuk menghapus kesenjangan itu diiringi dengan komitmen Jepang menyalurkan dukungan pendanaan bagi usaha kecil dan menengah. Pendanaan senilai total 50 juta dollar AS sepenuhnya akan dikelola bagi para perempuan perintis usaha di negara-negara berkembang.
Pengusaha tas yang kini menjadi penasihat Presiden AS Donald Trump, Ivanka Trump, menilai, selain perlunya penguatan dan dukungan, perempuan juga butuh diberi kesempatan memilih bekerja di rumah ataupun di luar rumah. Dengan perkembangan teknologi, kemudahan dapat semakin berpihak pada perempuan untuk bisa bekerja. ”Tidak lagi harus di kantor, tetapi bisa di rumah,” katanya.
Tantangan yang masih dihadapi perempuan adalah penerapan aturan yang kolot. Misalnya, masih ada 17 negara di
dunia yang melarang perempuan bepergian tanpa pendamping. Ini, menurut Direktur Eksekutif Bank Dunia Kristalina Georgieva, mempersempit ruang gerak perempuan untuk maju.
Perempuan di banyak negara juga masih kesulitan membangun usaha. Tercatat baru 47 negara dari 189 negara yang telah memberi peluang bagi perempuan untuk memperoleh kucuran bantuan kredit modal usaha. Pembiayaan selama ini lebih banyak mengucur kepada kaum lak--laki.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang turut hadir sebagai pembicara dalam pertemuan itu juga meyakini kontribusi perempuan sangat besar pada pertumbuhan ekonomi. Ia mencontohkan, jika perempuan mendapat bantuan permodalan, hasilnya tidak untuk dirinya sendiri. ”Perempuan mengelolanya dengan baik dan hasilnya untuk membangun perekonomian keluarga dan lingkungan sekitarnya,” katanya.
Berkaca dari pengalamannya, Susi menilai mengurus pekerjaan dan rumah tangga dalam waktu bersamaan bukanlah halangan bagi perempuan. Salah satu kelebihan perempuan dapat menjalankan beberapa tugas sekaligus (multitasking) menunjukkan kecakapan mengelola usaha. (Irma Tambunan)