SEMARANG, KOMPAS – Curah hujan tinggi sejak awal Desember dinilai belum mengganggu produksi padi di sejumlah sentra pertanian di Jawa Tengah. Bahkan, hingga musim panen awal Maret mendatang, provinsi ini diperkirakan bakal surpus beras.
Wahid Pribadi (45), petani di Desa Wonosalam, Kabupaten Demak, Kamis (21/12) menuturkan, intensitas hujan menjelang akhir tahun, masih dalam batas normal dalam perhitungan tanaman padi. Jika tidak terjadi perubahan cuaca ekstrem hingga awal Maret mendatang, produksi padi bakal optimal.
“Jika cuaca stabil dan hama tidak mewabah, musim tanam pertama saya yakin bisa panen gabah 7 ton per hektar. Seperti lazimnya musim tanam tahun lalu, hasil panen selalu tinggi,” ujar Wahid.
Pantauan di sejumlah lahan pertanian, kendati intensitas hujan terbilang tinggi, tidak sampai menimbulkan banjir atau menggenangi tanaman padi. Rata-rata tanaman padi di wilayah pantai utara Jateng berumur 2-3 minggu.
Wakil Gubernur Jateng Heru Sudjatmoko menyatakan, jika lahan pertanian seluas 950.000 hektar di Jateng mampu menghasilkan 3 juta ton gabah kering giling atau setara 1,7 juta ton beras, tentu produksi pangan akan surplus. Kebutuhan pangan warga Jateng hanya 800.000 ton, sehingga surplus 900.000 ton beras.
Pencapaian surplus beras ini harus diupayakan, agar ketahanan pangan tetap terjaga. Hal ini juga bukti kemampuan Jateng menjaga kedaulatan pangan.
“Ini bukti provinsi ini mampu mempertahankan lahan-lahan subur penghasil padi untuk menopang produksi padi. Tidak ada alih fungsi secara tidak terkendali,” jelas Heru.
Pengurus Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kabupaten Grobogan, Edy Purwanto mengatakan, petani juga antusias karena harga gabah di pasaran stabil. Harga beras medium di tingkat pedagang eceran di desa-desa sekitar Rp 10.000 per kilogram. Tingginya harga beras ini jadi indikator tidak banyak daerah pertanian yang panen.
“Ini bisa memicu petani berlomba-lomba menanam padi sehingga luasan panen bisa lebih banyak dibandingkan musim tanam lalu,” ujar Edy.
Diakui Edy, saat ini petani mesti menanggung kenaikan harga sewa lahan. Lahan berigasi teknis saat ini disewakan Rp 24 juta per hektar per tahun, atau naik sebesar Rp 800.000 dibandingkan musim tanam sebelumnya sekitar Rp 23,2 juta. Akan tetapi, kenaikan sewa lahan bukan masalah besar bagi petani.
“Bagi petani yang penting produksi optimal dan harga di pasaran tinggi,” ujarnya.