Festival bertajuk ”Menuju Kota Multikultural, 100 Tahun Harapan” berlangsung pada 20-22 Desember di Kabupaten Tulang Bawang Barat. Pembukaan festival dimulai dengan pameran seni rupa, menampilkan karya 9 perupa asal Kabupaten Tulang Bawang Barat. Selain itu, ditampilkan berbagai pertunjukan seni, seperti tari, musik, dan teater.
Bupati Tulang Bawang Barat Umar Ahmad mengatakan, transmigrasi merupakan peristiwa bersejarah yang menjadikan daerah itu heterogen. Saat ini, penduduk Tulang Bawang Barat terdiri dari berbagai suku bangsa, antara lain Lampung, Jawa, Sunda, dan Bali.
”Tulang Bawang Barat diharapkan menjadi contoh daerah multikultur yang masyarakatnya hidup harmonis. Kami menggagas ide kota multikultural di kawasan transmigrasi,” kata Umar di sela-sela pembukaan festival, Rabu (20/12).
Transmigrasi penduduk Jawa ke Lampung pertama kali terjadi tahun 1905. Saat itu, 155 warga asal Jawa Tengah dipindahkan ke Lampung (saat ini menjadi Kabupaten Pesawaran). Warga transmigran pertama kali masuk Kabupaten Tulang Bawang Barat pada 1918.
Festival juga digelar untuk mengembangkan kreativitas masyarakat. Umar menyadari, Tulang Bawang Barat bukan daerah yang kaya dengan sumber daya alam.
”Kabupaten Tulang Bawang Barat tidak punya pantai atau pegunungan yang bisa ditawarkan kepada wisatawan. Karena itu, kami mengembangkan seni budaya lokal sebagai daya tarik wisata,” kata Umar.
Festival Tubaba direncanakan jadi agenda rutin setiap tahun.
Kekuatan budaya
Pemerintah kabupaten meletakkan dasar pembangunan daerah dengan menonjolkan kekuatan budaya. Contohnya, pembangunan Gedung Sesat Agung yang bentuk atapnya menyerupai gabungan sejumlah rumah.
Hal itu melambangkan keterbukaan masyarakat Lampung menerima warga transmigran. Ornamen atap gedung menggunakan aksara Lampung.
Umar menambahkan, konsep kota multikultural yang dikembangkan adalah sebuah kota dengan berbagai suku yang masyarakatnya hidup harmonis. Pemkab tidak hanya menyiapkan infrastruktur, tapi juga membangun kekuatan budaya warga.
Ketua Dewan Kesenian Daerah Kabupaten Tulang Bawang Barat Fauzi Hasan mengatakan, pemkab bekerja sama dengan para seniman yang bergabung dalam Studio Hanafi. Hal itu agar para seniman lokal dapat meningkatkan keterampilan.
Fauzi yang juga Wakil Bupati Tulang Bawang Barat mengatakan, festival bisa untuk mengukur tingkat kemampuan seni dan budaya masyarakat. Fauzi berharap, semakin banyak warga tertarik belajar seni budaya.
”Kami bangga seniman lokal mengkreasikan ide mereka. Kami berharap ini mendapat apresiasi dari masyarakat,” ujarnya.
Rabu malam, di panggung pertunjukan ditampilkan, antara lain, gitar klasik seniman Lampung dan tari kreasi baru ”Nenemo” yang ditarikan 26 remaja. Mereka menari dengan gerakan energik sambil membawa pohon karet.
Nenemo singkatan dari kata bahasa Jawa nemen, nedes, nerimo, yang menggambarkan karakter transmigran yang pekerja keras dan tawakal.
Hanafi (57), perupa dari Studio Hanafi yang mendampingi seniman lokal di Lampung, menilai, masyarakat asal Tulang Bawang Barat memiliki bakat seni yang tinggi. Dalam dua tahun terakhir, seniman lokalnya menunjukkan kemajuan signifikan.
Heru Joni Putra, kurator pameran seni rupa, mengatakan, lukisan yang dipamerkan menggambarkan keberagaman masyarakat. Ini sejalan dengan semangat dan harapan Tulang Bawang Barat menjadi kota multikultural. (VIO)