JAKARTA, KOMPAS — Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia dan Keuskupan Agung Jakarta berpesan agar Natal tahun ini dirayakan secara bersahaja, tanpa pengerahan massa. Kesederhanaan itu adalah upaya solidaritas terhadap penderitaan dan kesusahan yang dialami orang dan umat lain.
”Kami menyarankan perayaan Natal berlangsung sederhana, tertib, hikmat, dan damai. Natal dirayakan dengan kejernihan dan ketulusan hati,” ujar Kepala Humas Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Jeirry Sumampow, Rabu (20/12) malam, di Jakarta.
Hal senada disampaikan Sekretaris Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) Romo Vincentius Adi Prasojo Pr. Perayaan Natal pada dasarnya adalah ibadat. ”Kristus lahir ke dunia dalam situasi penuh kesahajaan. Maka, perayaan Natal harus konsisten dengan makna itu,” ujar Adi di kantornya, kemarin.
Untuk itu, KAJ mengimbau umat Katolik di wilayah Jakarta, Bekasi, dan Tangerang agar beribadat Natal dengan khusyuk. Ia tidak setuju apabila perayaan Natal dilakukan di tempat terbuka seperti Monumen Nasional, apalagi dengan pengerahan massa. ”Merayakan Natal itu ya di gereja, karena itu memang tempatnya kami beribadat,” ujar Adi.
Merayakan Natal itu ya di gereja, karena itu memang tempatnya kami beribadat.
PGI dan KAJ, yang tergabung dalam Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), kompak mengusung tema perdamaian dan persatuan dalam perayaan Natal tahun ini. Pesan itu diperteguh guna melawan potensi perpecahan bangsa seiring dinamika sosial politik setahun terakhir ini.
”Gesekan-gesekan akibat perbedaan pandangan hendaknya tidak ditanggapi secara tergopoh-gopoh. Kami mengingatkan untuk menggunakan jalan perdamaian dalam menyelesaikan perbedaan sikap. Persatuan bangsa harus tetap dijaga,” ujar Ketua Umum PGI Henriette TH Lebang.
Situasi sosial-politik tersebut meliputi beragam isu, mulai dari ancaman radikalisme dan terorisme, pemaksaan paham agama tertentu, hingga perbedaan pandangan soal pengakuan Jerusalem sebagai ibu kota Israel oleh Amerika Serikat.
Ancaman perpecahan
Menghadapi tahun 2018 yang berbarengan dengan pilkada serentak, Henriette berpesan agar umat Kristiani tidak mudah terpancing isu-isu bernuansa SARA. Ia khawatir ego sektarian dalam berpolitik dapat memicu perpecahan anak bangsa.
Ketua IV PGI Albertus Patty menambahkan, perbedaan pandangan dan pilihan politik adalah hal yang tidak mungkin dihindarkan. Namun, ia berharap perbedaan itu tidak sampai merusak ikatan perdamaian antarpemeluk agama yang telah terjalin lama sejak republik ini berdiri.
Untuk itu, ia berpesan agar toleransi dan perdamaian tetap dikedepankan dalam kehidupan sehari-hari umat Kristen. ”Seperti isu Jerusalem, itu sebenarnya masalah politik. Jadi, jangan sampai di Indonesia persoalan itu dipelintir menjadi isu agama. Itu dapat menimbulkan perpecahan di antara anak-anak bangsa ini,” ujar Albertus. (TAM/DD17)