4 Pos Pengungsian Ditutup
KABANJAHE, KOMPAS — Setelah tiga tahun hidup di lokasi pengungsian, 1.769 dari 2.117 keluarga pengungsi letusan Gunung Sinabung di Kabupaten Karo, Sumatera Utara, dipulangkan secara bertahap sejak Oktober. Empat dari delapan posko pengungsian juga sudah ditutup.
Sebanyak 348 keluarga masih tinggal di pengungsian khususnya posko GPDI Ndokum Siroga, Gedung GBKP Ndokum Siroga, Gundang Konco, dan Gudang Jeruk Surbakti. Mereka menunggu selesainya pembangunan hunian sementara yang baru rampung pekan depan. Desa mereka berada di zona yang aman saat status gunung turun dari Awas. Status Awas diberlakukan sejak 2 Juni 2015. Akhir Desember ini, Pemkab Karo menargetkan tak ada lagi pengungsi di pengungsian.
Kabid Kedaruratan dan Logistik BPBD Kabupaten Karo Natanail Perangin-angin, Kamis (21/12), mengatakan, sejak awal Desember, tempat pengungsian secara bertahap telah dikosongkan. ”Para pengungsi sudah jenuh hidup selama tiga tahun di tenda pengungsian,” katanya.
Para pengungsi sudah jenuh hidup selama tiga tahun di tenda pengungsian.
Pemerintah memberikan bantuan sewa rumah Rp 4,2 juta dan sewa ladang Rp 2,2 juta per keluarga. Namun, 348 keluarga yang akan direlokasi ke hunian sementara hanya diberi bantuan sewa ladang karena mereka
akan mendapat hunian sementara. Bangunan hunian telah selesai dibangun, tinggal menunggu penyelesaian kamar mandi umum.
Sekretaris Desa Jeraya Sinar Sembiring, yang juga pengungsi, mengatakan, para pengungsi sangat bersyukur akhirnya bisa meninggalkan tempat pengungsian dan menyewa rumah. Bantuan Rp 6,4 juta itu hanya cukup untuk menyewa rumah. Bantuan itu tak cukup menyewa ladang sehingga sebagian besar pengungsi memilih menjadi buruh tani dengan upah Rp 70.000 per hari.
Hutan konservasi
Sementara itu, pemerhati lingkungan dan budaya Bali mengusulkan agar lingkar Gunung Agung menjadi lahan hutan konservasi. Hutan ini meliputi radius melingkar paling rawan bahaya erupsi atau sekitar 5 kilometer dari kawah. Warga dari radius itu diberikan relokasi hunian dan lahan yang tidak jauh dari budaya tempat tinggal mereka sebelumnya.
Direktur Conservation Internasional (CI) Indonesia Ketut Sarjana Putra mengatakan, selama ini lereng Gunung Agung terlupakan dari pelestarian lingkungan. Kealpaan ini berdampak semakin banyaknya permukiman di zona bahaya. ”Ini menjadi momentum membenahi lingkar Gunung Agung dengan membangun kawasan hutan konservasi setelah erupsi berhenti,” kata Sarjana pada lokakarya penyusunan visionary masterplan Pulau Bali, di Denpasar, Kamis (21/12).
Kepala Bappeda Provinsi Bali Putu Astawa mengapresiasi usulan itu dan berjanji mempertimbangkannya. Menurut rencana, usulan tersebut dibahas kembali lebih mendalam.
Sementara itu, embusan Gunung Agung masih terus teramati, baik secara visual maupun pencatatan alat di Pos Pemantauan Gunung Agung Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG). Pada Kamis pagi, embusan kembali terlihat membubung dua warna putih dan kelabu setinggi 1.000 meter selama 80 detik dengan kekuatan 23 milimeter berdasarkan catatan seismograf.
Kepala Subbidang Mitigasi Gunung Api Wilayah Timur PVMBG Devy Kamil Syahbana mengatakan, erupsi masih berlangsung meski intensitas embusan tak sekuat erupsi pertama 21 November. Emisi sulfur tercatat 600 ton per hari, jauh lebih rendah ketimbang 27 November lalu yang sebesar 5.494 ton per hari. ”Namun, rendahnya angka ini belum dapat mengurangi potensi meredanya erupsi karena embusan dan angka emisi terus berfluktuasi setiap harinya. Jadi, tetap tidak boleh lengah,” tegasnya.
Gunung Agung
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan mengatakan, Gunung Agung mengalami peningkatan aktivitas vulkanik sehingga perlu ditetapkan status peningkatan aktivitas vulkanik gunung api tersebut. Status Awas Gunung Agung masih berlaku sejak 27 November lalu dan belum diturunkan.
”Status Awas Gunung Agung belum diturunkan. Status Awas ini hanya berlaku pada radius 8 sampai 10 kilometer dari kawah Gunung Agung. Di luar radius (8 km sampai 10 km) itu tidak perlu status,” kata Jonan ketika ditemui Kompas dan Tribun Bali di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali, Kamis (21/12).
Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Rudy Suhendar menyatakan, status Awas untuk Gunung Agung hanya berlaku untuk gunung api tersebut dan dalam radius 8-10 km. ”Sejak awal, status hanya untuk gunung api tersebut, bukan status untuk Bali,” kata Rudy.
Status Awas pada radius 8-10 km untuk mengantisipasi ancaman awan panas dan lahar dari Gunung Agung serta semburan abu vulkanik. ”Kami sudah melokalisasi kerawanan itu dalam radius 8 sampai 10 kilometer,” ujar Rudy.
Di luar radius 8-10 km, menurut Rudy, masih memiliki potensi kerawanan, terutama terdampak sebaran abu letusan yang dipengaruhi angin dan tinggi kolom abu. ”Jadi, di luar radius itu masih normal saja, misalnya, di Nusa Dua ini jaraknya lebih dari 10 kilometer,” kata Rudy.
Rudy mengatakan, status Awas masih diberlakukan pada Gunung Agung karena aktivitas magmatik terpantau masih terjadi. Pemantauan Gunung Agung, menurut Rudy, menggunakan peralatan yang mencukupi, baik untuk memantau kondisi gunung, aktivitas seismik, deformasi gunung, konsentrasi gas dan emisi gunung, hingga energi termal. (NSA/AYS/COK)