Ingin Tanggap, Bukan Gagap Bencana
Bencana alam membawa bahaya bagi mereka yang tidak siap. Di Jawa Barat, sejumlah bencana alam yang datang setahun terakhir menguji ketangguhan manusia.
Gempa datang lagi, Jumat (15/12) malam, membangunkan tidur sebagian warga Kecamatan Cipatujah. Guncangannya besar dengan waktu relatif panjang. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika melansir gempa terasa 5-30 detik di Jabar, Jawa Tengah, dan DI Yogyakarta.
Saat gempa disusul peringatan potensi tsunami, Yati Rohayati (55) tak buang waktu. Dia menggendong cucu dan mengajak anaknya keluar rumah yang berjarak sekitar 50 meter dari Pantai Pasanggrahan, Cipatujah.
Di antara pekat malam dan listrik yang padam, kaki Yati tak kesulitan melangkah. Nyala kuning dan hijau rambu peringatan bencana memandu menuju titik evakuasi. Jaraknya sekitar 1 kilometer dari pantai, berada di bukit yang lebih tinggi.
”Kami pernah ikut pelatihan bencana sehingga tahu mau dan harus apa saat gempa. Ada relawan membantu kami menuju tempat evakuasi,” ujar Yati. Warga sadar keselamatan dan mitigasi adalah yang utama. Pengalaman dihantam tsunami tahun 2006 menjadi pelajaran.
Kami pernah ikut pelatihan bencana sehingga tahu mau dan harus apa saat gempa. Ada relawan membantu kami menuju tempat evakuasi.
Yati masih ingat saat itu banyak warga bingung mau lari ke mana. Gulungan ombak hingga 5 meter melibas rumah warga. Dia kehilangan seorang anak, cucu, dan kerabat akibat tsunami.
Lima kali lipat
Ada 216 kejadian gempa bumi di Jawa Barat sepanjang 2017. Kekuatannya bervariasi antara M 2 dan M 6,3. Hampir semua terjadi di Jabar bagian selatan, seperti Tasikmalaya, Garut, Sukabumi, Cianjur, hingga Pangandaran. Dipenuhi patahan aktif di darat dan laut, Jabar rentan digoyang gempa dan tsunami besar.
Namun, banyaknya gempa tak lantas membuat mitigasi di Jabar berjalan ideal. Kepala Bidang Kesiapsiagaan di Badan Penanggulangan Bencana Daerah Jabar Eko Damayanto mengakui, mitigasi bencana Jabar masih perlu diperbaiki. Banyak warga belum paham cara menghadapi ancaman bencana. Menyelamatkan harta benda kadang lebih penting ketimbang nyawa.
”Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya, merupakan salah satu daerah yang paham mitigasi bencana. Mereka bisa jadi contoh bagi daerah lain,” katanya.
Kesadaran mitigasi bencana mutlak dibutuhkan warga yang tinggal di Jabar. Selain gempa, beragam bencana alam terjadi Jabar sehingga membuatnya menjadi daerah paling rawan di Nusantara.
Hingga Oktober 2017, ada 1.574 kejadian bencana di Jabar. Jumlah itu, lima kali lipat lebih besar ketimbang periode sama tahun lalu. Lebih dari setengahnya dipicu cuaca ekstrem dan rusaknya lingkungan.
”Hujan sebentar saja sudah banjir dan longsor. Akhir tahun ini, banjir datang lagi di Kabupaten Bandung. Dalam sepekan, lebih dari 1.200 orang mengungsi,” ujar Eko.
Tanah longsor masih jadi bencana yang paling memakan nyawa. Dari 27 orang yang tewas akibat bencana, 15 orang di antaranya akibat tanah longsor. Pada 31 Oktober lalu, satu keluarga tewas saat rumah mereka tertimbun tanah di Kabupaten Bandung.
Kepala Bidang Mitigasi Gerakan Tanah Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Agus Budianto mengatakan, belum semua daerah menaruh perhatian pada potensi longsor. Peta rekomendasi yang diberikan setiap bulan belum jadi acuan menata daerah.
Di tengah kondisi itu, dia berharap, kemandirian masyarakat jadi kunci. Para guru bisa menularkan ilmu kebencanaan kepada siswa di sekolah. Tokoh masyarakat bisa menyosialisasikan potensi bencana dan mitigasi kepada masyarakat. ”Solidaritas dan kemandirian potensial menyelamatkan nyawa,” katanya.
Tanggap bencana
Keinginan untuk mandiri mendorong warga Cipatujah membentuk Relawan Penanggulangan Bencana (RPB) pada 2015. Anggotanya 15 warga. Ada yang petani, nelayan, hingga penjahit. Dalam dua tahun terakhir, mereka mampu melatih 100 orang untuk paham potensi bencana.
”Hasilnya bisa kami rasakan saat gempa Jumat malam lalu. Warga jauh lebih siap menghadapi bencana,” kata Koordinator RPB Rahmat Saputra (45). Ia mengatakan, ada lima titik evakuasi disiapkan warga yang dihubungkan dengan 30 rambu evakuasi. Titik itu ada di tanah lapang, dekat pasar, hingga rumah penduduk.
”Dana pelatihan dan sarana pendukung sebagian dirogoh dari kantong sendiri,” kata Rahmat sembari menunjukkan dua radio panggil (HT) yang dibeli sendiri.
Yati Sumiati (38), penjahit di Cipatujah, misalnya, memilih bergabung dengan RPB karena sadar tinggal di daerah rawan. Orangtua tunggal dengan dua anak ini membuktikan kemampuannya. Saat gempa datang, ia menjadi pemandu warga menuju titik evakuasi. ”Ada rasa bangga saat bisa membantu warga,” ujarnya.
Yati mengakui, belum semua warga mau dievakuasi. Mereka masih takut kehilangan barang. Namun, hatinya lega saat lebih banyak warga bersedia dievakuasi saat disapa bencana.
”Mereka banyak yang menunggu di titik penjemputan. Warga paham dan percaya kami akan membawa mereka ke tempat aman,” katanya.
Upaya mitigasi masyarakat di Kabupaten Tasikmalaya mungkin bisa menjadi contoh bagi masyarakat Jabar lainnya. Hidup di tanah rawan bencana, mereka ingin tanggap, bukan gagap bencana. (IKI/BKY/SEM/CHE)