Wardis Girsang, pengajar pada Program Studi Agrobisnis Fakultas Pertanian Universitas Pattimura di Ambon, Jumat (22/12), mengatakan, produktivitas lahan pala di Maluku rendah, yakni kurang dari 1 ton per hektar per tahun. Padahal, secara nasional, produktivitas lahan pala dalam setahun sekitar 1,5 ton per hektar. Adapun luas lahan pala di Maluku sekitar 32.000 hektar.
Selain usia tanaman yang tua dan perubahan iklim, rendahnya produktivitas juga dipicu kesalahan pemilihan bibit. Budidaya pala masih menggunakan cara lama. Pendampingan dari pemerintah juga kurang. ”Ini memerlukan sistem kluster agar lebih fokus,” ujarnya.
Selain itu, diperlukan pula tim yang melibatkan pemerintah dan ahli untuk mendampingi petani hingga benar-benar mandiri. Setelah sukses di tahapan budidaya dengan hasil kualitas terbaik, pemerintah tinggal menyiapkan pasar dan mendorong masuknya industri pengolahan pala.
Ia meyakini cara itu dapat mengembalikan kejayaan rempah di Maluku. Kualitas pala di Maluku yang tumbuh di atas tanah vulkanik masih menjadi yang terbaik di dunia.
Namun, saat ini petani sangat bergantung pada harga pasar yang berada di bawah kendali tengkulak. Berdasarkan pantauan pada sejumlah pengepul pala di Ambon, harga pala paling tinggi Rp 60.000 per kilogram. Harga tersebut adalah yang terendah sejak krisis ekonomi tahun 1997. Saat itu harga pala mencapai Rp 180.000 per kilogram. Pala dari Ambon kebanyakan diekspor ke pasar Eropa dan Amerika.
Di Kabupaten Fakfak, Papua Barat, pengembangan pala tomandin, komoditas unggulan daerah itu, juga belum berjalan optimal. Dari total 16.733 hektar lahan pala di wilayah itu, produksi biji pala baru sekitar 2.000 ton per tahun.
Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Fakfak Abdul Rahim Fatamasya, di Fakfak, Jumat, mengatakan, produksi pala di Fakfak lebih rendah dibandingkan dengan pala di Siau, Sulawesi Utara, sekitar 10.000 ton per tahun. Padahal, luas lahan produktif perkebunan Pala di Siau hanya 3.000 hektar.
”Penyebab minimnya produktivitas pala karena banyak pohon yang tua serta proses penanaman yang masih tradisional dan tidak teratur. Jarak penanaman antarpohon terlalu rapat, yakni 2 meter. Idealnya, jarak tanam antarpohon 10 meter,” kata Abdul. Rehabilitasi pohon pala dilakukan sejak 2013. ”Kami menebang pohon pala yang jaraknya saling berdekatan. Ini agar produksi biji pala menjadi 2.000 ton per tahun,” ujarnya. (FRN/FLO)