BANYUWANGI, KOMPAS — PT Angkasa Pura mengalokasikan anggaran Rp 300 miliar untuk pengembangan Bandara Blimbingsari, Banyuwangi, pada 2018. Dana itu dikucurkan setelah Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan menyerahkan pengelolaan Bandara Blimbingsari kepada PT Angkasa Pura II.
Penyerahan pengelolaan Bandara Blimbingsari itu dilakukan di Banyuwangi, Jumat (22/12). Sejak dibangun pada 2005, Bandara Blimbingsari dikelola Unit Penyelenggaraan Bandar Udara Ditjen Perhubungan Udara.
Dengan penyerahan pengelolaan Bandara Blimbingsari, maka biaya operasional dan pembangunan bandara tak lagi menggunakan APBN. Direktur PT Angkasa Pura II Muhammad Awaluddin mengatakan, sudah dialokasikan anggaran Rp 300 miliar selama 2018 untuk pengembangan bandara.
”Anggaran itu untuk pembangunan beberapa fasilitas bandara seperti perluasan apron dan penebalan landasan pacu. Pada Januari, kami targetkan terminal lama sudah diratakan sehingga dapat segera dibangun apron,” ujarnya.
Apron yang semula seluas 3.000 meter persegi akan ditambah 18.000 meter persegi menjadi total 21.000 meter persegi. Penambahan luas apron dilakukan untuk menambah kapasitas parkir pesawat.
Dengan penambahan luas, maka apron dapat menampung 1 pesawat wide body (berlorong ganda) dan 7 pesawat narrow body (berlorong tunggal). Saat ini Bandara Blimbingsari hanya dapat menampung 2 pesawat narrow body.
Tetap gerakkan ekonomi
Dari Yogyakarta dilaporkan, pada 2018, diprediksi konsumsi tetap menjadi motor pertumbuhan ekonomi DI Yogyakarta. Namun, kontribusi investasi diprediksi meningkat karena pembangunan bandara baru di Kulon Progo. Gejolak harga pangan juga perlu diwaspadai karena perubahan musim yang ekstrem.
”Agar bisa menjadi pusat pertumbuhan, harus direncanakan. Pelaku ekonomi harus sudah mulai terlibat. Misalnya, jika 2019 akan diresmikan, fasilitas apa yang bisa diberikan untuk pesawat-pesawat yang masuk ke bandara ini,” kata Guru Besar Ekonomi Edy Suandi Hamid, dalam temu media dengan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Yogyakarta, Jumat.
Untuk investor lain, misalnya kalangan perhotelan, juga perlu diberi informasi detail. Sesuai data, sejak 2015 hingga triwulan III- 2017, pertumbuhan ekonomi DIY didominasi konsumsi swasta (61 persen), investasi asing dan domestik (20 persen), belanja pemerintah (17 persen), dan ekspor neto (2 persen).
”Tahun 2018, ekonomi kreatif DIY sangat potensial dan layak diperhatikan. Dari 16 subsektor ekonomi kreatif, potensi yang cukup besar adalah subsektor kuliner, busana, kriya, animasi, dan pembuatan gim,” kata Susilo. (GER/SIG)