Tragedi Lingkungan di Cekungan Bandung
Yati Rusniati (60), warga kawasan Sukamantri, Kelurahan Sukaluyu, tidak jauh dari Gedung Sate, Kota Bandung, tidak paham bahwa listrik yang menerangi rumahnya selama berpuluh tahun berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Sungai Citarum. Berkat penerangan listrik, ia dan keluarga bisa hidup nyaman dan anaknya bisa belajar hingga menjadi sarjana.
Keluarga ini membeli kebutuhan pangan di pasar tradisional di Jalan Surapati, Kota Bandung, yang berasnya dipasok dari Pasar Induk Caringin, Bandung selatan. Pedagang grosir di Caringin menerima kiriman beras antara lain dari sawah di Kabupaten Bandung yang irigasinya berasal dari air Citarum.
Yati merupakan contoh dari 2,5 juta warga Kota Bandung yang kehidupannya ditunjang oleh Sungai Citarum. Sayangnya, sungai sepanjang 269 kilometer yang mengalir dari Gunung Wayang di Kabupaten Bandung hingga muaranya di Muaragembong, Kabupaten Bekasi, dijadikan tempat pembuangan limbah industri dan kotoran rumah tangga.
Tidak hanya warga Kota Bandung, air Citarum yang sangat kotor juga digunakan oleh sekitar 20 juta orang di sejumlah kabupaten, seperti Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Purwakarta, Subang, Indramayu Karawang, dan Bekasi.
Sampai saat ini Sungai Citarum masih tercemar limbah industri, terutama yang berada di kawasan Bandung selatan dan timur. Limbah pabrik tekstil dibuang ke Sungai Citarum dan anak-anak sungainya, tanpa diolah terlebih dahulu.
Pabrik tekstil yang membuang limbah selama bertahun-tahun di kawasan industri Rancaekek, Kabupaten Bandung, telah menghancurkan sekitar 70 hektar lahan pertanian di daerah aliran Sungai Citarum.
Lahan pertanian itu merupakan tumpuan hidup bagi ratusan orang selama berpuluh tahun. ”Lahan sawah jadi tidak produktif karena tidak bisa menghasilkan padi yang baik,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat Anang Sudarna, mengutip laporan warga, Kamis (14/12).
Tak ada pilihan
Pegiat dari Komunitas Elemen Lingkungan (Elingan), Majalaya, Kabupaten Bandung, Deni Riswandani, menambahkan, kotornya air Citarum sudah berlangsung lama dan dibiarkan merusak lingkungan dan tatanan kehidupan warga. ”Berpuluh tahun ribuan warga Majalaya terpaksa menggunakan air limbah untuk mandi dan mencuci karena tidak ada pilihan. Ini tragedi lingkungan,” ucapnya.
Didin M (45), petani di Desa Sumbersari, Kecamatan Ciparay, daerah hilir Majalaya, menuturkan, jika hujan mulai berkurang dan bertepatan dengan musim tanam, Sungai Citarum terpaksa dibendung. Walau warna airnya sudah hitam, tetap digunakan untuk mengairi sawah keluarga agar padi tetap tumbuh. ”Kami terpaksa menggunakan air limbah karena tidak ada pilihan,” ujar Didin.
Pada musim kemarau, air Citarum di Bandung selatan berwarna-warni. Adakalanya merah, hitam, ataupun hijau, tergantung jenis pewarna tekstil yang dibuang ke sungai ini. Ironisnya, pada tengah malam suhu air Citarum lebih panas dibandingkan siang dan sore. Pada musim hujan, sungai ini kerap menimbulkan banjir di sejumlah kecamatan di Kabupaten Bandung.
Di DAS Citarum terdapat sekitar 3.000 industri yang mengalirkan air limbah ke sungai terpanjang di Jawa Barat ini. Sekitar 1.500 industri di cekungan Bandung, misalnya, mengalirkan 2.800 ton limbah setiap hari.
Semuanya merupakan limbah cair kimia bahan beracun dan berbahaya (B3) ditambah 10 ton sampah setiap hari masuk ke Waduk Saguling. Di Saguling terdapat PLTA, salah satu sumber energi bagi kelistrikan Pulau Jawa-Bali.
Sungai purba yang mengalir dari Gunung Wayang di Bandung selatan hingga pesisir Pantai Muaragembong di Laut Jawa ini, selain menjadi cikal bakal peradaban manusia di Jawa Barat juga berjasa besar membangun peradaban bangsa hingga kini. Setiap tahun irigasi Citarum menyumbang 6 juta ton padi bagi lumbung padi nasional
Sungai ini mampu menerangi kehidupan sekitar 60 persen penduduk Indonesia di Pulau Jawa dan Bali dari PLTA. Air Sungai Citarum menggerakkan turbin di PLTA Saguling, Cirata, dan Jatiluhur. Air sungai yang tercemar limbah beracun ini selain mengairi 420.000 hektar sawah di lumbung padi nasional Karawang, Subang, dan Indramayu juga memasok keperluan air minum bagi 80 persen atau sekitar 10 juta warga DKI Jakarta melalui irigasi Tarum Barat.
Dampak mengerikan
Menurut Anang, pencemaran oleh limbah industri dan pembuangan kotoran dari jutaan rumah tangga di cekungan Bandung mengerikan. Di DAS Citarum, setiap tahun puluhan orang meninggal akibat berbagai penyakit yang disebabkan oleh limbah beracun.
Penyakit yang disebabkan oleh rusaknya lingkungan itu masuk tubuh manusia secara evolutif sehingga tidak kentara. Angka kematian mungkin bisa mencapai ratusan orang karena penyakit akibat limbah itu tidak menyerang secara mendadak.
”Itu sebabnya saya katakan perusak lingkungan lebih berbahaya dari terorisme,” kata Anang.
Di Citarum, hampir tidak ada lagi kehidupan yang layak bagi hewan air. Beberapa jenis ikan endemik telah punah dan langka. Jenis ikan yang tumbuh hanya ikan sapu-sapu karena ikan ini mampu bertahan di air limbah. ”Ikan sapu-sapu itu dikumpulkan lalu dagingnya dibuat makanan sejenis siomay dan dijual ke anak-anak sekolah,” ujar Anang. Bisa dibayangkan pertumbuhan anak-anak yang makan ikan tercemar limbah. Setidaknya kecerdasan mereka bisa berkurang.
Air limbah yang mengalir ke Citarum pertama kali ditampung oleh Waduk Saguling kemudian Waduk Cirata dan Jatiluhur. Di ketiga waduk itu terdapat puluhan ribu jaring apung untuk budidaya ikan.
”Ikan-ikan itu tercemar limbah beracun. Demikian juga tanaman padi yang mendapat irigasi dari Citarum,” ujar Anang.
Citarum masih menyediakan pangan untuk bangsa ini sehingga harus diselamatkan. Pemerintah tidak bisa mengatasi sendiri karena kondisinya sudah parah. Karena itu harus dibantu semua komponen masyarakat.
Dalam kaitan itu, Pemprov Jabar bersama Kodam III/Siliwangi menginisiasi pembenahan Sungai Citarum melalui program Citarum Harum. Pembenahan dilakukan bertahap mulai dari pembersihan sampah, limbah, dan reboisasi sehingga diharapkan bantaran Citarum bisa bebas banjir.
”Harapannya, dalam lima sampai 10 tahun mendatang, kita masuk dalam tahapan mengurangi banjir,” ujar Panglima Kodam III/Siliwangi Mayor Jenderal Doni Monardo, Rabu (6/12).
Untuk mencapai hal itu maka pembenahan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup di Citarum dilakukan bertahap dan komprehensif. Pembenahan akan dilakukan tim yang terdiri dari berbagai unsur tentara, polisi, ahli lingkungan hidup, seniman, dan relawan yang tergabung dalam program Citarum Harum.