Hidup Rukun Mengalun dari Desa ”Pancasila” Balun
Bukan tanpa alasan Desa Balun di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, disebut ”Desa Pancasila”. Warga di sana setia menjaga keguyuban meski berbeda keyakinan. Agama boleh berbeda, tetapi hubungan warga tetap terjalin mesra.
Kemesraan itu terlihat dalam ”kontes” pohon natal yang digelar panitia Natal Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Balun, dengan melibatkan berbagai kelompok pemuda di daerah itu, Jumat (22/12).
Hujan rintik tidak menyurutkan semangat para pemuda di wilayah itu untuk menyelesaikan pohon-pohon natal itu di sore hari. Ada yang memasang lampu hias, sebagian merapikan dekorasi pohon yang terbuat dari beragam material bekas.
Malam hari, saat gelap menghampiri, suasana di halaman gereja mendadak semarak bak Natal di Eropa. Beragam pohon natal bekas limbah plastik dan koran itu memendarkan cahaya berwarna-warni mulai dari hijau, merah, biru, hingga ungu. Sungguh pemandangan yang indah.
Tak heran, warga Balun, tidak peduli Kristen, Islam, ataupun Hindu berduyun-duyun mendatangi tempat ini. Sebagian berdecak kagum, tetapi lebih banyak yang memilih mengabadikan keindahan pohon-pohon natal itu dengan berswafoto.
Pohon-pohon natal itu sangat unik. Ada yang berbahan dasar kardus bekas seperti buatan kelompok Yakobus, ada pula berbahan karung plastik seperti buatan para pemuda kelompok Lukas. Namun, ada dua pohon yang paling menyita perhatian warga.
Dua dari total delapan pohon natal yang dipajang di halaman GKJW Balun itu menggelitik para pengunjung dan tim juri. Kedua pohon itu tidak lazim karena terbuat dari plastik keresek dan spons bekas.
Namun, yang paling menarik adalah para pembuatnya. Kedua pohon natal itu bukanlah buatan jemaat GKJW Balun, melainkan LA Mania dan kelompok pemuda Hindu. LA Mania adalah sebutan bagi kelompok suporter klub sepak bola Persela Lamongan yang mayoritas beragama Islam.
Anang Wibowo (26), anggota LA Mania Balun Raya, mengatakan senang bisa berpartisipasi dalam kegiatan memeriahkan perayaan Natal di sana. ”Kami hanya membantu membuat hiasan Natal, tetapi tidak masuk ke ritual ibadahnya. Ini bentuk toleransi dan sikap saling menghargai yang kami junjung tinggi selama ini di tempat ini,” ujarnya.
Hal senada disampaikan Suharsono (49), pemeluk Hindu di Balun. Ditemani Wisnu dan Loso, dua rekannya, ia membuat pohon natal dari spons bekas. “Inilah cara kami saling menghargai. Kami senang bisa guyub dan setia menjaga toleransi,” katanya.
Dilakukan rutin
Menurut Sutrisno, tokoh Kristen di Balun, partisipasi warga Islam dan Hindu dalam memeriahkan Natal bukan hal aneh. Itu dilakukan rutin, turun temurun. Pada Natal tahun lalu, misalnya, mereka mendekorasi dan mengecat patung Bunda Maria setinggi 2,5 meter yang terbuat dari bekas kantong semen.
Setiap 25 Desember, tokoh masyarakat dan pemuka agama lainnya rutin memberikan ucapan selamat Natal kepada umat Nasrani di Balun. ”Daerah lainnya bisa mencontoh Balun,” ujar Sutrisno yang bangga menjadi warga di desa itu.
Kolaborasi di antara pemeluk agama di desa ini tidak hanya terjadi saat Natal, tetapi juga hari raya keagamaan lainnya. Pada perayaan Nyepi, Maret lalu, misalnya, warga Islam dan Kristen juga menyumbang ogoh-ogoh (patung simbol keburukan dan kejahatan).
Ngarijo (51), pemangku Pura Sweta Maha Suci Desa Balun, menuturkan, warga Islam dan Kristen di Desa Balun saat itu ikut membantu mengatur jalannya pawai ogoh-ogoh dan membantu pengamanannya. Tanpa peranan mereka, prosesi khas Hindu itu sulit berjalan lancar.
Tidak berbeda dengan perayaan Nyepi, para pemuda Hindu dan remaja Muslim Desa Balun juga bakal terlibat di dalam pengamanan misa malam Natal di gereja-gereja yang ada di Balun, Minggu (24/12). ”Itu agar warga Kristen bisa tenang menjalankan ibadah dan merayakan Natal,” ucap Ngarijo.
Meskipun mayoritas warga di Balun beragama Islam, mereka tidak lantas gagah-gagahan. Mereka dengan berbesar hati mengayomi warga lainnya yang berbeda agama. Itu terlihat jelas saat bulan Ramadhan dan Idul Fitri.
Pengeras suara
Kegiatan tadarus atau membaca Al Quran dan takbir dengan pengeras suara tidak berlangsung lama, yaitu hingga pukul 22.00, agar tidak mengganggu istirahat warga dari agama lain. Hal serupa terjadi saat misa atau kebaktian. Penggunaan pengeras suara masjid diatur sedemikian rupa agar umat Nasrani bisa khidmat beribadah.
Tingginya toleransi pemeluk agama di desa ini tecermin pula dari keberadaan rumah-rumah ibadahnya. Seperti halnya interaksi kehidupan warga Balun yang tidak berjarak satu sama lainnya. Bangunan pura dan masjid saling bersebelahan, sementara gereja hanya berjarak 70 meter dari kedua bangunan itu.
Suwito (51), takmir Masjid Miftahul Huda, mengatakan, toleransi dan kebersamaan selalu dikedepankan dalam kehidupan warga Balun. Alhasil, belum pernah terdengar adanya gesekan, apalagi konflik, bernuansa agama di desa ini.
Kultur toleransi itu terus diajarkan para orangtua, perangkat desa, dan tokoh agama agar nilai kebersamaan itu bisa diwariskan hingga ke generasi-generasi berikutnya dan tidak punah.
Tidak heran, dengan keunikan demografi penduduknya itu, Desa Balun lantas disebut ”Desa Pancasila”. Mereka mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam keseharian, bukan buku pelajaran. (Adi Sucipto Kisswara)