"Swiss Kecil" Arena Pengukir Prestasi
Berada di ketinggian 700-1.700 meter dari permukaan laut dan berhawa sejuk, Kota Batu di Jawa Timur tidak hanya identik dengan agrowisata dan wisata kontemporer. Kota berjuluk "Swiss Kecil (De Kleine Switzerland)" ini, juga erat dengan aneka kegiatan yang memacu adrenalin, baik di darat, air, maupun udara.
Akhir Oktober lalu, 50-an atlet paralayang mengikuti kejuaraan daerah (kejurda) dalam rangka Hari Ulang Tahun Ke-16 Kota Batu. Mereka lepas landas (take-off) dari Gunung Banyak (1.315 meter dari permukaan laut) dan melayang berputar-putar di udara, sebelum mendarat di Lapangan Kelurahan Songgokerto, Kecamatan Batu.
Dari total atlet yang berpartisipasi itu, 10 orang di antaranya anak muda Kota Batu. Mereka berusaha menjadi pemenang dalam dua kelas yang diperlombakan, yakni ketepatan mendarat senior, ketepatan mendarat yunior, dan kategori siswa.
Salah satu atlet yang ikut berlaga tak lain Dedi Sasmiko (22). Dedi yang baru beberapa bulan belajar paralayang itu tampil sebagai pemenang kedua kategori siswa. Keberhasilan Dedi berlanjut pada kejurda paralayang di Tuban, akhir November.
"Di Tuban saya berhasil menjadi juara kategori siswa. Selain itu, posisi lima besar kategori yunior kejurda di Tuban diraih atlet Batu. Semuanya anak sekitar sini," tutur Dedi yang warga Songgokerto, Jumat (9/12).
Dedi menuturkan banyak teman-teman sepermainannya yang kini menguasai paralayang. Mereka belajar olahraga tersebut secara otodidak di Gunung Banyak, yang tak jauh dari tempat tinggalnya. "Awalnya mereka hanya membantu melipat parasut. Lalu belajar dengan parasut bekas inventaris pemerintah daerah," ujarnya.
Bahkan, dalam perkembangannya atlet muda paralayang Batu, tidak hanya berbicara di tingkat daerah, tetapi juga nasional dan internasional. Senior Dedi yang bernama Rika Wijayanti (23), misalnya, menjadi juara dunia paralayang nomor ketepatan mendarat di Slovenia, September lalu. Rika sendiri masih berkerabat dengan Dedi.
Kini Rika bersama sang kakak, Djoni Effendi, dan empat tetangganya (Ike Ayu Wulandari, Rony Pratama, Jafro Megawanto, dan Ardi Kurniawan)-semuanya atlet nasional-tengah berada di Australia.
Di "Negeri Kanguru", mereka menjalani pemusatan latihan nasional menjelang Asian Games 2018. "Dari empat anak saya, tiga di antaranya atlet paralayang," ujar Bawon (50) orangtua Rika Wijayanti.
Begitulah, Gunung Banyak sebagai wahana paralayang tidak saja dimanfaatkan oleh atlet luar daerah untuk berlatih, atau wisatawan yang ingin menikmati suasana Kota Batu dari ketinggian. Namun, juga menjadi medan mengadu nyali dan mengasah kelihaian terbang anak muda setempat.
Menurut sejumlah warga, regenerasi atlet paralayang Batu berjalan baik. Saat ini ada puluhan calon atlet muda yang belajar terbang, baik itu dari Songgokerto maupun kelurahan lain. Gaung latihan mereka memang tidak begitu kentara dari luar. Orang awam mengira atlet yang sedang berlatih itu, adalah wisatawan yang menikmati Batu dari udara.
Gunung Banyak mulai dikenal sebagai arena paralayang sejak 1998-1999. Bermula dari seorang atlet dari Jawa Barat yang datang ke Batu, mencari lokasi paralayang. Setelah itu kegiatan paralayang berkembang di Gunung Banyak.
Tahun 2000, Gunung Banyak menjadi arena paralayang pekan olahraga nasional. Selain di Gunung Banyak, sebenarnya ada satu lagi arena yang cocok untuk paralayang, yakni Gunung Panderman.
Namun, akses ke sana cukup sulit. Dari lokasi pendaratan (landing), seorang pemain membutuhkan waktu tempuh perjalanan 30 menit menggunakan sepeda motor trail, untuk kembali ke lokasi take-off. "Sehingga sampai sekarang yang paling sering digunakan, ya, Gunung Banyak," kata Taufiq, salah satu atlet paralayang provinsi sekaligus master tandem obyek wisata paralayang Gunung Banyak.
Saat ini ada 15 orang master tandem berlisensi yang siap melayani wisatawan untuk terbang. Gunung Banyak sendiri sering dipakai untuk kejurda, nasional, maupun internasional. Selain kondisi alam dan angin mendukung, kontur lereng tidak terlalu curam.
"Lereng menghadap langsung ke Kota Batu. Kecenderungan arah angin juga berasal dari timur kecuali di musim hujan sehingga cocok sekali antara kondisi medan dan pemandangan yang didapat," ujarnya.
Menurut Taufiq kondisi alam itu menjadikan Gunung Banyak bisa dipakai untuk terbang lama (soaring), dengan menyusuri perbukitan di sisi utara lokasi take-off. Di luar kondisi alam, Gunung Banyak juga memiliki fasilitas yang lebih tertata dibandingkan arena lain.
Dalam kondisi cuaca mendukung, ada 30-40 wisatawan yang bermain di tempat itu saat akhir pekan. Di luar wisatawan yang berani terbang, wisatawan lainnya hanya naik ke puncak gunung untuk menikmati suasana. "Kalau wisatawan yang naik dan menikmati suasana puncak gunung jumlahnya banyak," katanya.
Kepala Dinas Pariwisata Kota Batu Imam Suryono mengatakan, guna mendukung pengembangan arena paralayang itu dari sisi pariwisata, telah digelar sejumlah acara. Pemerintah Kota Batu juga membenahi sejumlah fasilitas, seperti area landing, shelter, guest house, dan lokasi parkir. "Tahun depan kami akan mengadakan kegiatan yang lebih besar dengan memperbanyak partisipasi atlet internasional," ujarnya.
Selain paralayang, di Batu terdapat beberapa kawasan lain yang juga menjadi area adu nyali. Salah satu Bukit Klemuk (di bawah sisi selatan Gunung Banyak). Aktivitas penguji adrenalin lainnya ada di alur Sungai Brantas, Kelurahan/Kecamatan Bumiaji yang digunakan sebagai medan alur jeram.
Selain bisa dimanfaatkan untuk mengukir prestasi, obyek-obyek tersebut juga mendatangkan manfaat ekonomi bagi warga. Di Gunung Banyak, misalnya, warga bisa mendapatkan penghasilan tambahan dari penyedia jasa ojek, penginapan, hingga warung makan.
"Sejak 2008-2009 warung saya pindah ke sini. Sebelumnya saya jualan di Gang IV," ujar Bawon, yang sering mendapat pesanan katering bila ada kegiatan paralayang tak jauh dari rumahnya.
Berkembangnya kawasan olahraga di Batu membuktikan kota itu tak hanya melulu wisata, tetapi ajang penempa bibit atlet kaliber nasional di Nusantara. Yuk, terbang di atas Kota Batu....