Masih ingatkah dengan nama Trinity Hutahaya? Dia salah satu korban ledakan bom molotov di halaman Gereja Oikumene, Samarinda, Kalimantan Timur, 13 November 2016. Empat balita yang tengah asyik bermain terpental setelah terdengar ledakan keras.
Teriakan dan tangis Trinity Hutahaya (3,5), Alvaro Sinaga (4), Intan Olivia Banjarnahor (2,5), dan Anita K Sihotang (2) pecah. Intan, yang luka bakarnya terparah, meninggal sehari kemudian. Trinity dan Alvaro juga lama dirawat karena luka mereka parah.
”September lalu, Ity (panggilan Trinity) ke China untuk berobat ditemani ibunya. Awal November pulang ke Jakarta, tetapi awal Januari nanti berangkat lagi ke China,” ujar Gibson Hutahaya, ayah Trinity, saat dihubungi, Jumat (22/12).
Setahun lebih setelah peristiwa itu, kondisi Trinity jauh lebih baik meski tetap menjalani perawatan. Gibson sudah memaafkan pelempar molotov sejak hari pertama. ”Kejadian itu membuat Ity disayang banyak orang. Dia akan menjadi orang yang selalu bahagia dan teman bagi siapa saja,” katanya.
Mengenang Rianto
Kenangan terhadap Rianto tidak pudar. Rianto (25) tewas saat menyingkirkan bom di depan Gereja Sidang Jemaat Pantekosta di Indonesia (GSJPDI) Eben Haezer, Kota Mojokerto, Jawa Timur, seusai misa natal tahun 2000. Aneka penghargaan atas pengorbanan Rianto dipasang di tembok rumah orangtuanya. Pemerintah Kota Mojokerto mengubah nama jalan di tempat tinggal keluarga Rianto dengan nama Jalan Rianto.
”Minggu lalu ada kelompok jemaah Gereja Katolik, Probolinggo, datang ke rumah dan ke makam sekitar 30 orang. Tahun lalu GP Anshor memperingati haul, tradisi memperingati tokoh Nahdlatul Ulama yang sudah meninggal, hingga memasang tiga tenda, ribuan tamu dan pengajian memenuhi jalan sempit depan rumah,” kata Subiyantoro, adik Rianto.
Keluarga sederhana ini meneruskan usaha yang pernah dirintis Rianto, yakni membuat cetak sablon. Sukarmin (60), ayah Rianto, masih mencari nafkah dengan mengayuh becak. Sukarmin sering meneteskan air mata ketika bertutur tentang Rianto.
Penyintas bom dan keluarganya tak sungguh-sungguh bisa pulih meski peristiwanya telah lama berlalu. Kekerasan atas nama agama selalu meninggalkan trauma hebat, baik bagi korban maupun keluarganya. Namun, Trinity beserta keluarganya dan keluarga besar Rianto tetap melanjutkan hidupnya.
(LUKAS ADI PRASETYA/DODY WISNU PRIBADI)