Problema Penyelamatan Gajah Sumatera
Ada kabar baik dan buruk tentang gajah sumatera (Elephas maximus sumatrensis) di Riau, 2017. Kabar baiknya, tidak ada gajah mati dibunuh. Padahal, ahun-tahun sebelumnya, konflik antara satwa raksasa itu dan manusia selalu meminta korban jiwa di kedua pihak. Kabar buruknya, tahun 2017, dua orang tewas diserang gajah.
”Kami prihatin masih ada korban jiwa dalam konflik satwa. Namun, positifnya, warga Riau makin arif. Saat muncul konflik, warga tak langsung membalas, tetapi melapor ke pihak berwajib,” kata Yuliantoni, Direktur Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) setelah bersama Kompas menyusuri wilayah TNTN, akhir pekan lalu.
Apakah dengan tidak adanya kematian gajah, konflik berdarah tuntas? Belum. Jalan menuju perdamaian manusia dan gajah masih panjang. Potensi konflik masih sangat besar sebelum problem mendasar dituntaskan.
Persoalan yang belum selesai itu adalah pembenahan jalur jelajah gajah yang dulunya hutan belantara, tetapi diubah menjadi perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman industri, ataupun permukiman penduduk. Intinya, tata ruang yang tak berpihak pada kehidupan satwa.
Hutan-hutan dikapling demi kepentingan manusia, sementara pola hidup gajah dan satwa liar tidak mengenal batas administrasi. Saat hutan berubah fungsi, jalur jelajah terputus di lahan konsesi, kebun, atau permukiman. Satwa-satwa liar kerap terjebak sehingga menimbulkan konflik. Saat konflik terjadi, satwa pasti kalah.
Konflik di lapangan meluas tatkala negara nyaris tak pernah hadir cepat dan terencana. Tak heran jika warga yang dirugikan dalam konflik akan membalas gajah dengan meracuni, mengaliri listrik di pagar kebun, atau memasang jebakan maut.
Berkurang 84 persen
Tak pelak, konflik terus berulang. Sesuai data World Wildlife Fund (WWF) Riau, pada 2016 tercatat empat kematian gajah di Riau. Jumlah itu menurun dibandingkan dengan 2015 yang mencapai 10 gajah.
Forum Konservasi Gajah Indonesia mencatat 150 gajah di Sumatera terbunuh sejak 2012 hingga Februari 2016. Dalam 25 tahun terakhir, menurut data WWF, jumlah gajah sumatera berkurang 84 persen.
Kisah tragis itu terus berlangsung dan jumlah gajah di Riau terus menurun sehingga kini diprediksi tinggal 200 ekor. Gajah-gajah itu menempati sembilan habitat. Lokasi terbesar di Taman Nasional Tesso Nilo yang dibagi dalam dua zonasi, yaitu TNTN Utara dan Selatan.
Menurut data Yayasan TNTN, sedikitnya 140 gajah berada di habitat taman nasional yang rusak parah itu. TNTN yang menjadi hutan konservasi gajah seluas 83.000 hektar, kini tersisa 20.000 hektar. Sebanyak 75 persen vegetasi hutan alam lenyap dan menjelma menjadi kebun kelapa sawit. Persoalan perambahan TNTN belum mampu diatasi, sementara konflik gajah dengan perambah yang berkebun sawit meluas.
Situasi di habitat yang lebih sempit dari TNTN, misalnya di hutan Suaka Margasatwa Balai Raja, Duri, Bengkalis, sama saja. Masih ada 30 gajah yang lalu lalang di semak belukar hutan yang sudah berubah jadi kebun kelapa sawit. Jumlah itu menurun dari 45-50 ekor pada 2007.
Yuliantoni mengatakan, kini tengah disusun rencana aksi penyelamatan gajah untuk 10 tahun mendatang. Rencana awalnya menyusun peta wilayah jelajah gajah di hutan tersisa. Hutan alam yang terputus di konsesi kebun, HTI dan permukiman, harus dapat disambung lagi.
Rencana lain dan sudah dimulai adalah mengedukasi warga di wilayah konflik untuk mampu mengatasi persoalan secara darurat. Dengan demikian, saat petugas profesional belum datang, warga mampu mengusir tanpa membahayakan satwa dan manusia. Namun, tetap diperlukan kehadiran tim reaksi cepat untuk menanggulangi konflik dan menyelamatkan satwa.
Membuat gajah tidak memasuki kebun warga juga bukan hal sulit. Misalnya dengan menanam tanaman tidak disukai gajah, seperti jeruk. Cara lain adalah memelihara lebah, hewan yang sangat dihindari gajah.
Hanya saja, menurut Damsir dari lembaga Pundi Sumatera, fasilitator Tropical Forest Conservation Act(TFCA), program penyelamatan satwa liar jangka panjang, perlu kerja keras mahal dan harus melibatkan semua pihak. Faktanya, koordinasi itulah problem utamanya.
Biasanya pemerintah berjalan sendiri dan LSM lingkungan bekerja sesuai bidangnya saja. Misalnya LSM konservasi gajah hanya memikirkan gajah. Padahal, saat bekerja di hutan, personel LSM itu acap bertemu badak, harimau, ataupun orangutan. Demikian pula sebaliknya dengan LSM badak, harimau, atau orangutan yang bekerja sendiri. Seakan tak disadari bahwa hutan adalah rumah semua satwa.
”Konsep jangka panjang bagus. Namun, yang terpenting mendorong kemitraan antarlembaga di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dinas kehutanan, korporasi, warga, dan LSM lingkungan untuk berbagi peran. Tidak bisa bekerja sendiri-sendiri,” kata Damsir. Benar kata Damsir. Tanpa kebersamaan, kepunahan satwa langka itu cuma menunggu waktu. (Syahnan Rangkuti)