Sarini (50), warga Kedoya, Jakarta, tersenyum saat membuka kado bertuliskan namanya. Kado berhias pita itu berisi baju gamis berwarna putih. Telah lama ia mendamba busana muslim yang terlihat bagus itu, tidak seperti pakaian yang dikenakannya sehari-hari sebagai pemulung.
Pemberian kado ini dilakukan dalam acara makan siang bersama yang digelar Sant’Egidio Jakarta, sebuah komunitas solidaritas umat Katolik, tepat di hari Natal, kemarin. Selain Sarini, ada sekitar 250 warga papa dan kurang mampu lainnya yang diundang ke acara di tempat bernama ”Rumah Persahabatan” di Kedoya itu.
Mayoritas warga papa itu adalah para pemulung yang sehari- hari tinggal atau bekerja di Kedoya, Jakarta Barat. Kado-kado yang diberikan di acara makan siang bersama itu telah disesuaikan dengan keinginan mereka.
Karjaya (11), pemulung lainnya, dihadiahi sepasang sepatu roda, sementara temannya, Bazarudin (13), mendapat sepatu sekolah yang lama didamba. Mereka terlihat bahagia, saling bersenda gurau di acara itu.
Menurut Ignatius Respati Teguh, penanggung jawab Komunitas Sant’Egidio se-Indonesia, pihaknya telah lama mengenal warga kurang mampu yang diundang itu. Mereka rutin datang ke Rumah Persahabatan setiap Minggu malam untuk santap bersama makanan yang disiapkan panitia.
”Kaum papa itu juga punya martabat dan ingin dianggap. Kalau kita ingin bantu mereka, kita harus mengenali lebih mendalam permasalahan yang mereka hadapi. Kalau tidak ada kedekatan, bantuan yang diberikan hanya menjadi sekadar bakti sosial. Tak memecahkan masalah mereka,” kata Teguh.
Untuk itu, para anggota komunitas yang bercikal bakal di Roma, Italia, pada 1968 itu tak segan berinteraksi dan mendengar keluh kesah warga papa itu. Komunitas umat Katolik itu kini telah berkembang di 15 daerah di Indonesia, antara lain Jakarta, Medan, Semarang, dan Denpasar.
Acara makan siang bersama digelar serentak di banyak lokasi di Jabodetabek. Di Jagakarsa, Jakarta Selatan, misalnya, kegiatan itu digelar di Panti Asuhan Desa Putera dengan melibatkan 700 anak yatim, anak jalanan, buruh lepas, dan para lansia.
”Saya baru ikut tahun ini. Acaranya bagus untuk kebersamaan tanpa memandang perbedaan suku dan agamanya,” ujar Mail (36), warga Muslim di Jagakarsa yang hadir di panti asuhan itu bersama istri dan tiga anaknya.
Menurut Nicholas, ketua panitia acara Makan Siang Natal di Panti Asuhan Desa Putera, acara itu bertujuan merangkul semua kalangan, terutama kaum papa. ”Kami ingin berbagi kasih dan sukacita Natal kepada semua orang tanpa memandang latar belakang suku dan agamanya. Kami ingin meruntuhkan tembok-tembok SARA yang memisahkan kita sebagai satu bangsa,” ujarnya.
Tindakan empati, kepedulian terhadap sesama manusia, ini juga terlihat di Panti Werda Santa Anna, Jakarta Utara. Di hari Natal, para suster menghibur lansia penghuni lembaga sosial itu dengan beragam kado kejutan. Suasana yang biasanya hening mendadak meriah.
Keceriaan dan raut wajah semringah muncul ketika satu per satu nama lansia itu dipanggil guna menerima kado-kado tersebut. Total 90 kado dibagikan kepada para lansia, berikut karyawan panti asuhan itu, kemarin.
Menariknya, tidak semuanya beragama Nasrani. ”Semua harus mendapatkan kado meski berasal dari latar belakang yang berbeda,” ujar Avila Wona, suster di Panti Werda Santa Anna.
Ia bercerita, tradisi bagi-bagi kado itu rutin dilakukan setiap Natal. Kado-kado itu bersumber dari donatur panti dan wajib dibagikan tanpa kecuali ke semua penghuni. Kepedulian itu, ucap Avila, membuat penghuni panti merasa betah meski tidak bisa merayakan Natal bersama keluarga mereka.
Jeruji besi
Sukacita Natal juga terdengar dari balik jeruji besi, salah satunya Rumah Tahanan Salemba, Jakarta Pusat. Natal menjadi momen berharga para narapidana di tempat itu untuk bertemu dengan keluarganya.
Suasana haru pun tampak di tempat ini. Seorang anak terlihat menangis di pelukan ayahnya, salah satu penghuni rutan itu. Hari itu, Rutan Salemba membuka waktu kunjungan untuk keluarga para penghuni rutan ini.
Sebanyak 695 napi, tidak semuanya Nasrani, bergantian bertemu keluarganya di sebuah tenda berukuran 15 meter x 30 meter yang disediakan khusus sebagai tempat mencurahkan kerinduan mereka. Para napi yang hari itu tidak ditengok keluarganya tetap bersukacita dengan bernyanyi atau bermain band di panggung mini.