Membangkitkan Gairah Para Petani
Semua itu berkat Sekolah Kecil Pertanian (SKP) yang digelar sejak Februari lalu. Dengan hanya menyisihkan Rp 40 juta dari dana desa, gairah bertani bisa dibangkitkan
lagi.
Agus Santoso (33) tertarik ikut SKP karena ingin menambah pengalaman. ”Kalau dulu, saya bertani hanya kerja otot, kini harus kerja otak juga. Saya masih optimistis pertanian bisa maju. Apalagi di sini kami bisa berbagi ilmu,” katanya di selasela praktik lapangan pengamatan pertumbuhan dan pemeliharaan tanaman cabai, Rabu (18/10).
Sebelumnya, ia menanam cabai seluas seperempat hektar, tetapi belum tahu teknis perawatan yang bagus. Hasilnya hanya mendapatkan 40 kilogram sekali petik. Setelah bergabung dengan SKP dan mengembangkan cabai sundari dengan pupuk organik tanpa pestisida, kini hasilnya 1 kuintal sekali petik. ”Kalau dulu sekali tanam dua putaran panen, kini bisa tiga putaran, setiap putaran tujuh kali petik,” ujar Agus.
Kini, petani juga bisa membuat agen hayati berupa bakteri pemacu pertumbuhan tanaman yang disebut plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) plus. PGPR berfungsi mengurai sisa pupuk pada tanah, mengurai fosfat, mengikat nitrogen dari udara, mempercepat pertumbuhan tanaman, serta menambah kekebalan tanaman dari serangan hama dan penyakit.
Di rumah produksi agen hayati, petani bisa membuat metharizium dan tricoderma. Metharizium berfungsi mengobati cabai dari serangan hama dan sebagai bahan tambahan fermentasi pupuk kandang. Tricoderma untuk mencegah layu pada tanaman cabai juga dibuat tambahan fermentasi pupuk kandang.
Di Lembor, juga ada lima rumah produksi kompos yang dikelola kelompok tani. Petani membuat kompos plus terbuat dari kotoran hewan ternak, dolomit, arang sekam, tepung ikan, dan air cucian beras. Mereka juga memproduksi pupuk organik cair (POC) terbuat dari kuning telur, susu, madu, cuka, vetsin, air cucian beras, dan PGPR.
Petani pun bisa mengurangi ketergantungan terhadap pupuk pabrikan. Produk itu dijual melalui Badan Usaha Milik Desa Lembor Sejahtera. Selain bisa dipakai petani sendiri, juga dijual ke petani di luar desa.
Berkat SKP, Lembor punya kebun bibit/benih cabai varietas sundari. Kebun bibit yang diberi nama Sundari itu dikhususkan untuk pemuliaan dan pemurnian bibit hasil rekayasa petani setempat. Rumah bibit ditutup plastik dan kasa agar steril. ”Ini untuk mencegah hama atau penyakit masuk,” ujar Sundari (44), penjaga gawang pemurnian benih cabai.
Potensi desa
Kepala Desa Lembor Muhammad Na’im mengatakan, jumlah penduduk di desa itu 703 keluarga (2.535 jiwa) yang mayoritas mengandalkan pertanian. Pada 2015, Lembor mendapatkan dana desa sekitar Rp 300 juta, tahun 2016 Rp 600 juta, dan 2017 Rp 800 juta.
Pada 2017, Rp 40 juta dari dana desa dialokasikan untuk SKP. ”Untuk menciptakan pertanian berkualitas tak perlu
mahal. Hasilnya luar biasa berkat semangat petani,” kata Na’im.
Peserta SKP diambil dari lima kelompok tani masing-masing lima orang. Petani yang aktif hingga saat ini ada 22 orang. SKP itu dinilai penting karena pola pertanian di Lembor cenderung konvensional. Petani belum menerapkan teknologi dan cara bertani modern. Sebagian besar lahan di Lembor mengandalkan tadah hujan.
Pada tahap awal, peserta SKP mendapatkan materi teori secara klasikal selama tiga hari. Bersamaan dengan itu dibentuk kelompok praktik lapangan di lahan praktikum. Peserta wajib mengikuti kelas lapangan setiap Kamis selama sembilan bulan.
Praktik lapangan itu meliputi pengolahan lahan, pembibitan, penanaman, penyiraman, perawatan, sampai masa panen cabai. ”Kami menggunakan dana talangan dulu karena bulan Februari belum ada kepastian besaran pencairan dana desa,” kata Na’im.
Gabungan kelompok tani ikut menyumbang untuk kegiatan Rp 25 juta, termasuk untuk seragam peserta. ”Kami sesuaikan siklus tanaman cabai agar hasilnya maksimal. Jika lahan tidak segera diolah, rentan musim berubah. SKP dimulai dan berakhir November,” paparnya.
Pada 2018 mendatang, SKP berganti peserta dengan komoditas ternak sapi. Ia ingin ada peningkatan kapasitas masyarakat di tengah lahan yang makin menyusut. Potensi desa harus dimaksimalkan.
Terpadu
Hamim Asy’ari, petugas Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan UPT Proteksi Tanaman Pangan dan Holtikultura Dinas Pertanian Jawa Timur, menuturkan, pola SKP di Lembor diprioritaskan pada tanaman cabai. Tahap berikutnya dikembangkan jagung terpadu dengan ternak sapi.
SKP merupakan sarana eksplorasi dari petani untuk meningkatkan kualitas produksi pertanian melalui sentuhan teknologi, unit pengolahan kompos, dan penyeleksian benih/bibit. Petani terbukti mampu membuat rumah agen hayati, termasuk PGPR.
Petani juga bisa mengotak-atik irigasi sistem tetes yang kini diterapkan di Desa Sendangharjo, Kecamatan Brondong.
Air ditampung dalam terpal, lalu diangkat ke tandon. Selanjutnya air dialirkan ke tanaman cabai melalui pipa paralon. Penyiraman cabai dengan sistem tetes itu membuat tanah lebih halus dan awet basah dibandingkan dengan sistem diguyurkan. ”Airnya tidak terbuang,” ujarnya.
Menurut Hamim, setelah menggunakan kompos plus buatan sendiri, petani bisa menghemat uang untuk membeli pupuk kimia. Sebelumnya membutuhkan pupuk 4-7 kuintal per hektar kini tinggal 50 kg. Bahkan, petani Lembor sudah tidak menggunakan pestisida lagi. ”Boleh dibilang di sini termasuk cabai organik,” ujarnya.
Petani menyadari penggunaan pupuk kimia mengurangi kesuburan tanah. Pemakaian pestisida meningkatkan residu bahan kimia pada makanan. ”Kami hanya mengedukasi dan menginiasi. Petani punya semangat sendiri memperbaiki kondisi tanah dan menerapkan budidaya tanam yang sehat. Yang penting ada efisiensi biaya produksi, produktivitas hasil tinggi, dan aman dikonsumsi,” ujar Hamim.