Mereka Bertaruh Nyawa di Panguragan
Setahun bersentuhan dengan jarum suntik bekas, tak sedikit pun Indah (18) takut terjangkit penyakit. Kekhawatiran pada masa depan justru melanda saat gudang limbah medis ilegal tempatnya bekerja di Panguragan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, ditutup.
”Mau bekerja di mana lagi?” ujar Indah ketika melihat garis kuning Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan polisi militer mengelilingi tempat kerjanya. Siang itu, Selasa (19/12), Indah, yang tidak melanjutkan sekolah menengah atas karena persoalan biaya, kembali menganggur.
Ia tidak lagi menyortir jarum suntik dan wadah infus bekas dengan tangan kosong dari pukul 08.00 hingga pukul 16.00. Ia pun kehilangan upah Rp 450.000 per minggu. ”Dari kerja ini saya bisa beli emas,” katanya sembari menunjukkan perhiasan yang menempel di telinga dan lehernya. Ia punya gawai bagus, ukuran kesuksesan baginya.
Indah bekerja di gudang limbah medis bernama Bintang Muda Plastik Bumil setelah diajak ibunya, Masniri (63). ”Saya ikut untuk membantu ibu. Bapak dan tiga kakak saya sudah meninggal,” ujarnya.
Soal tertusuk jarum suntik bekas atau limbah medis lain, Indah mengaku belum pernah mengalami. Sama sekali ia tidak tahu tentang bahaya limbah medis. Ia justru menghindar ketika Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon mengambil darah pekerja gudang untuk tes HIV.
Padahal, tes dilakukan untuk meminimalkan potensi penularan penyakit berbahaya seperti HIV. Sasarannya, pekerja gudang yang rentan tertular penyakit dari limbah medis.
Carini (56), pekerja lain, juga tidak tahu jika limbah medis merupakan bahan berbahaya dan beracun (B3). Padahal, tabung berisi gumpalan darah menjadi pemandangan seharihari. Baunya menyengat, membuat mual.
Pekerja mencuci limbah itu dengan cairan kimia sebelum disortir dan dimasukkan dalam karung untuk dijual. Itu tergambar dari keberadaan mesin cuci, timbangan, dan botol cairan kimia yang ditemukan di gudang.
Seandainya tahu, apakah ia akan berhenti? ”Yang penting ada kerja. Dapat uang Rp 300.000 per minggu,” kata ibu lima anak ini. Apalagi, suaminya telah lama meninggal dan meninggalkan utang jutaan rupiah. ”Sawahenggak punya. Mau jadi buruh tani cuma dapat Rp 20.000 per hari,” ujarnya.
Masalah perut
Itu sebabnya ketika KLHK bersama Komando Resor Militer 063/Sunan Gunung Jati dan jajaran Kepolisian Resor Cirebon menyegel enam gudang limbah medis di Panguragan, lebih dari 100 pekerja gudang menolak. Penyegelan baru dilakukan nyaris tiga pekan setelah sekitar 250 ton limbah medis ditemukan berserakan di bantaran sungai Desa Panguragan Wetan.
Gudang berukuran masingmasing lebih dari 100 meter persegi itu berada di permukiman penduduk di Panguragan. Di pagar gudang, terdapat pengumuman larangan masuk selain karyawan dan tidak boleh membawa kamera.
Sebenarnya, praktik pengolahan limbah medis di Panguragan, yang berjarak sekitar 25 kilometer dari Kota Cirebon, bukan kali ini terjadi. Menurut Kuwu (Kepala Desa) Panguragan Kulon Nono Subina, hal itu bermula dari sebuah gudang yang beroperasi pada 2011. Kini, bertambah menjadi tiga gudang. ”Saya enggak tahu siapa yang memberi izin. Saya belum jadi kepala desa saat itu,” ujar Nono.
Nono memilih mendiamkan persoalan ini. Alasannya, limbah menjawab ”masalah perut” warganya. Gudang tersebut diperkirakan beromzet miliaran rupiah dengan harga limbah medis Rp 13.000-Rp 15.000 per kilogram.
Hasan Subandi, warga setempat, mengatakan, keberadaan gudang limbah medis sudah menjadi rahasia umum. Warga kerap mengeluh. ”Akan tetapi, kami diancam karena diduga kuat oknum TNI terlibat. Polsek saja didatangi,” ujar Hasan yang tinggal di dekat gudang.
Camat Panguragan Syafrudin mengatakan, Panguragan sudah puluhan tahun dikenal sebagai sentra rongsokan. Berbagai barang bekas berbahan plastik hingga besi ditampung di sana. Sudah lazim pekarangan rumah mewah bertingkat warga dipadati barang rongsokan.
”Sayangnya, warga belum tahu apa itu limbah B3, apalagi limbah medis. Limbah itu emas di sini. Bahkan, orang berebut rongsokan,” kata Syafrudin.
Sekitar 35 persen dari 44.557 jiwa di Panguragan menggantungkan hidup pada usaha rongsokan. Syafrudin berharap, pemerintah mengedepankan pembinaan untuk masyarakat.
Hanya hilir
Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani meyakini, limbah medis di Panguragan hanya hilir dari mata rantai usaha limbah berbahaya itu. Pihaknya telah mengantongi nama 34 rumah sakit dan klinik dari DKI Jakarta, Jawa Barat, hingga Sumatera yang terindikasi menjadi sumber limbah medis itu. Lima bulan lalu, KLHK menutup perusahaan pengolah limbah B3 di Karawang.
”Apakah ada kaitan atau tidak, masih kami dalami, termasuk tujuan penjualan limbah,” ujarnya. Ridho berjanji mengungkap jaringan limbah itu, termasuk oknum TNI yang diduga terlibat.
Oknum berinisial TS dengan pangkat sersan mayor tersebut kini ditahan di Detasemen Polisi Militer 3 Cirebon. TS bertugas di wilayah Jabar, tetapi tidak termasuk dalam satuan Komando Daerah Militer III/Siliwangi.
Saat ini TNI dan KLHK juga fokus memulihkan lahan yang terkontaminasi di Panguragan.
Kasus ini menjadi gambaran buruknya pengelolaan limbah medis di Tanah Air. Menurut Direktur Penilaian Kerja Pengelolaan Limbah B3 dan Limbah Non B3 Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 KLHK Sinta Saptarina, dari 2.300 rumah sakit di Indonesia, hanya 11,6 persen yang sesuai persyaratan pengelolaan limbah B3.
Sebanyak 49 persen rumah sakit menggunakan insinerator yang belum sesuai standar, seperti suhu pembakaran kurang dari 800 derajat celcius. Selebihnya, rumah sakit bekerja sama dengan pihak ketiga yang memiliki insinerator untuk memusnahkan limbah medis.
Jumlah perusahaan pengelola limbah medis di Indonesia hanya enam, tersebar di Jabar, Jateng, Banten, dan Kalimantan. KLHK bersama Pemprov Sulawesi Selatan tengah membangun pusat pengelolaan limbah medis di Makassar.
Hasil studi Penyusunan Desain dan Rencana Teknis Fasilitas Pengolahan Limbah Medis 2016 menyebutkan, perputaran dana untuk jasa pengolah limbah medis dengan insinerator kapasitas 250 kilogram per jam sekitar Rp 150 juta per hari.
Gudang limbah medis memang telah disegel. Namun, itu hanya soal di hilir, bukan hulu. KLHK perlu bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan untuk menyelesaikan masalah sedari sumber limbah. Jika tidak, limbah medis bakal menelan korban, baik manusia maupun lingkungannya. Seperti bom waktu, akan meledak kapan saja.