Entakan Penenun-penenun Muda dari Bandarkidul
Jika di tempat lain ada kekhawatiran tentang regenerasi penenun yang kini tinggal menyisakan kaum tua, tidak demikian di Kota Kediri, Jawa Timur. Di Kelurahan Bandarkidul, Kecamatan Mojoroto, banyak anak muda berusia 20-an tahun menggeluti keterampilan itu. Mereka membuat kain yang dikenal sebagai tenun ikat bandarkidul.
Mendung tebal yang menyergap langit Kelurahan Bandarkidul berubah menjadi hujan deras disertai angin dan sesekali halilintar, Rabu (13/12) sore. Gemuruh air menimpa atap asbes yang diiringi padamnya aliran listrik membuat suasana di dalam salah satu tempat produksi kain tenun di kawasan itu mencekam.
Beberapa kali kilatan cahaya masuk menerobos jendela yang tertutup fiber. Isi ruangan berdinding batako dan dipenuhi alat tenun bukan mesin (ATBM) itu pun terlihat samar. Hanya sebagian pekerja yang masih aktif, lainnya memilih beristirahat sambil menunggu listrik hidup kembali.
Di tengah kondisi yang gelap, tangan Khusnul Kotimah (20), masih cekatan melepas tali-tali yang mengikat benang pakan (umpan). Bersama beberapa teman perempuan sebaya, Khusnul memberi warna kombinasi pada benang.
Pakan merupakan salah satu unsur bahan tenun ikat yang posisinya melintang. Satu lagi adalah lungsi (keteng) yang posisinya membujur. Selain menyolet, pekerja lain sibuk dengan bagian masing-masing. Ada yang memintal, menyiapkan lungsi, mengikat, dan mewarnai. Total ada 14 proses untuk membuat kain tenun ikat.
Khusnul tidak hanya mampu menyolet. Warga Desa Kras, Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri, ini juga menenun. Begitu lampu menyala, gadis lulusan salah satu SMA di Kediri itu langsung mengoperasikan ATBM. Entakan alat mekanis dari kayu itu menimbulkan suara kletak-kletak. Perlahan, kain motif ceplok warna merah dan biru pastel itu bertambah lebar.
”Saya sudah tiga tahun bekerja menjadi penenun, khususnya di bagian warna kombinasi. Awalnya agak kikuk, tetapi lama-lama bisa. Tidak sulit ternyata,” kata Khusnul.
Bukan terpaksa
Khusnul membantah bahwa kerja sebagai penenun lantaran tidak ada pekerjaan lain. Gadis tamatan SMA itu mengaku ingin mencari pengalaman dan melestarikan budaya. Ia pun berharap suatu saat nanti bisa memiliki usaha tenun sendiri.
Anak muda lain yang juga menggeluti tenun adalah Anifah (23) dan Adi Joko Purnomo (25). Adi bahkan menggunakan gajinya dari menenun untuk membiayai kuliah di jurusan teknik informatika di salah satu perguruan tinggi swasta di Kediri. Warga Desa Mondo, Kecamatan Mojo, Kota Kediri, itu sudah tujuh tahun hidup dari tenun.
”Awalnya, saya diajak oleh teman depan rumah yang telah lebih dulu menjadi penenun. Dia bekerja di sini dan mengatakan bahwa pemilik industri rumah tangga ini butuh pekerja. Begitu lulus SMK, saya langsung bergabung,” kata Adi yang baru saja wisuda. Dari pekerjaan ini, Adi yang masih membujang bisa mendapatkan Rp 900.000 per bulan.
Keterlibatan generasi muda dalam dunia tenun-menenun merupakan angin segar bagi keberlangsungan tenun ikat di Bandarkidul. Perajin yang telah puluhan tahun menekuni tenun sekaligus pemilik industri kecil Cap Medali Mas, Siti Ruqoyah, mengatakan, dari 98 karyawan yang ia miliki, sebanyak 90 orang adalah anak muda.
Sekolah
Keberadaan penenun muda di Kediri tidak hanya terlihat di sentra tenun. Di sekolah-sekolah vokasi, jalinan regenerasi tenun juga terasa. SMK 2 Kediri, misalnya, setahun terakhir sudah mengajarkan siswanya menenun melalui kegiatan ekstrakurikuler yang dilaksanakan sekali sepekan. Berbekal dua ATBM seharga Rp 4 juta per unit, SMK 2 menargetkan bisa menghasilkan 2.000 lembar kain tenun per tahun.
Kepala SMK 2 Kediri Mashari Krisna Edy mengatakan, kain tenun produksi siswa dipakai untuk kebutuhan seragam siswa sendiri. ”Kita belum menjual keluar karena dari produksi 2.000 lembar per tahun itu masih kurang untuk memenuhi kebutuhan sekolah,” ucap Mashari.
Ada pula SMK 3 yang memiliki mata pelajaran tata busana. Di tempat ini, calon-calon desainer muda ”dipaksa” bersinggungan dengan tenun ikat sejak dini. Sejumlah hasil kreasi siswa SMK 3 dipamerkan pada pergelaran Dhoho Street Fashion #3 bersama karya sejumlah desainer lokal dan desainer kenamaan Didiet Maulana di Taman Sekartaji, Kediri.
Dukungan pemda
Wali Kota Kediri Abdullah Abu Bakar menyambut baik keterlibatan anak muda dalam dunia tenun. Ini merupakan angin segar untuk keberlangsungan kain tenun ikat bandarkidul.
Pemerintah daerah juga berusaha membantu perajin melalui permodalan, peningkatan kemampuan, promosi, hingga mengharuskan pegawai negeri dan swasta di Kediri mengenakan tenun ikat sekali dalam sepekan.
Di Bandarkidul, saat ini ada sekitar 10 industri kecil tenun ikat dengan jumlah perajin yang terlibat lebih dari 500 orang. Menurut Abdullah, keberadaan tenun ikat membawa dampak ekonomi cukup besar bagi warga ”kota rokok” tersebut. ”Yang terdampak secara ekonomi lebih dari 1.000 orang, mulai dari penyedia bahan hingga penyedia jasa transportasi,” ucapnya.
Sejauh ini tidak ada catatan pasti kapan tenun ikat hadir di daerah yang berada di sisi barat Sungai Brantas itu. Para perajin meyakini tenun ini sudah ada sejak tahun 1950-an. Awalnya produk tenun berwujud sarung. Namun, pada masa Orde Baru, tenun tersebut kalah bersaing dengan sarung modern buatan pabrik. Baru pada tahun 2000-an usaha mereka bergeliat lagi dan saat ini perajinnya makin banyak.
Adapun produk sarung, khususnya sarung goyor, masih eksis dengan pasar ekspor ke sejumlah negara di Timur Tengah. Selain sarung, saat ini perajin juga mengembangkan produk, seperti kain, pakaian jadi, tas, dompet, dan cendera mata.
Desainer ikat Indonesia Didiet Maulana punya penilaian tersendiri terhadap keberadaan penenun muda di Kediri. Didiet, yang punya gerakan ”Yang Muda yang Menenun”, mengatakan, apa yang ada di Kediri jarang ditemukan di tempat lain. Biasanya, anak muda enggan bersinggungan dengan pekerjaan tradisional. ”Ini unik. Saya melihat di Kediri banyak anak muda yang punya komitmen untuk menenun, seniman tenun,” ucapnya.
Menurut Didiet, dari 80 persen penenun muda yang ia temui, mereka ingin menjadi perajin tenun dengan alasan melestarikan budaya. Didiet sendiri memiliki sejumlah gaun rancangan yang menggunakan tenun ikat Bandarkidul sebagai bahan. Menurut dia, tenun ikat produksi Kediri memiliki kerapatan halus dan motif yang bervariasi. (Defri Werdiono)