Mereka Bangkit Melawan Keterbatasan
Namun, sekarang tongkol jagung malah menjadi berarti bagi ibu-ibu rumah tangga setempat. Tidak ada lagi yang berserakan dan menjadi sampah. Tongkol menjadi bahan baku utama untuk berbagai barang kerajinan.
Saat berkunjung ke Desa Kareloe, beberapa waktu lalu, Kompas mendapati sekelompok ibu rumah tangga sedang sibuk membuat kerajinan dari tongkol jagung. Di hadapan mereka, tampak tongkol yang sudah bersih dalam bentuk potongan bulatan kecil, lem, dan sejumlah peralatan sederhana seperti mesin pemotong dan bor.
Tampak juga deretan kap lampu, tempat tisu, tempat pensil, dan beragam wadah lain dengan bentuk menarik. Barang-barang itu adalah hasil kreativitas para ibu dari pengolahan tongkol tersebut.
”Dulu sebelum kami pakai kompor, kadang tongkol jagung dijadikan untuk memasak. Kalau sudah terlalu banyak, kami bakar saja karena tidak tahu harus membuang ke mana. Saat semua warga sudah menggunakan kompor, tongkol tak dimanfaatkan lagi sehingga jadi sampah dan berserakan di mana-mana,” kata Nurhayati Dai (43), salah satu perajin.
Sederhana saja cara warga mengubah sampah ini menjadi barang bernilai. Bagian luar dibersihkan dari sisa kulit ari biji jagung hingga rata, lalu dipotong-potong kecil berbentuk lingkaran. Selanjutnya, bagian tengah dilubangi menggunakan bor hingga menyerupai donat.
Bulatan-bulatan ini kemudian direkatkan satu sama lain pada bagian sisinya menggunakan lem hingga berbentuk seperti lembaran berlubang-lubang. Setelah itu dipotong-potong dan direkatkan sesuai bentuk yang diinginkan. Pekerjaan terakhir adalah menghaluskan kembali bagian luar dan diberi cat berwarna atau bening.
Barang kerajinan dijual dengan harga bervariasi, berkisar Rp 25.000-Rp 500.000 per buah, bergantung model dan ukuran. Untuk bingkai cermin besar, harganya Rp 500.000, sedangkan wadah pensil dijual Rp 25.000. Adapun satu buah kap lampu dijual Rp 250.000-Rp 300.000.
Hasil penjualan dibagi ke anggota kelompok yang besarannya disesuaikan dengan pekerjaan masing-masing. Untuk satu barang seperti kap lampu, bisa diselesaikan satu orang dalam dua hari. Namun, biasanya mereka berbagi kerja. Misalnya, ada yang memotong, mengelem, menyusun, dan membuat bentuk. Dari penjualan ini, setiap orang bisa mendapatkan ratusan ribu rupiah dalam satu minggu hingga sebulan, tergantung dari banyaknya pesanan. Aktivitas tersebut melibatkan ratusan perempuan di desa itu.
Pemberdayaan
Ide membuat kerajinan dari tongkol jagung ini awalnya dicetuskan Forum Pemberdayaan Perempuan Indonesia (FPPI) Jeneponto, yang diketuai Hamsiah Iksan, istri Bupati Jeneponto Iksan Iskandar, pada 2015. Pembentukan FPPI didasari niat untuk memberdayakan kaum perempuan. Dipilihnya Desa Kareloe tak lepas dari berbagai masalah yang dihadapinya.
Program ini kemudian didukung Direktorat Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tahun 2017, Kareloe adalah satu dari 29 desa yang mendapat dukungan dana untuk kegiatan keaksaraan dan keterampilan.
”Saat itu tingkat buta aksara dan kemiskinan cukup tinggi, minim perempuan yang memiliki keterampilan, dan banyak masalah lain. Melalui FPPI, kami melakukan berbagai pendekatan agar kaum perempuan mau belajar aksara. Setelah itu, kami latih berbagai keterampilan untuk meningkatkan kapasitas dan mendapat penghasilan tambahan,” kata Hamsiah yang juga Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten Jeneponto.
Para pendamping yang bekerja untuk FPPI mengaku awalnya tak mudah mengajak perempuan dan warga desa lain yang buta aksara untuk belajar. Banyak yang berdalih, tanpa mengenal aksara pun, mereka bisa punya penghasilan. Sebagian lagi merasa sudah tua dan tak perlu lagi belajar. Ada pula ditentang suami.
Tingginya tingkat buta aksara di antaranya karena umumnya kebun jagung milik warga berada jauh dari permukiman. Petani kerap membawa keluarga ke rumah kebun dan menginap hingga sebulan saat masa tanam maupun panen. Ini juga menjadi kendala bagi para pendamping yang ingin mengajar.
”Kadang pendamping mengikuti warga hingga ke kebun dan mengajar di sana. Kadang pula saat mereka ke masjid atau berkumpul. Beruntung banyak warga yang akhirnya mau ikut dan menyisihkan waktu untuk belajar,” kata Ferawaty yang juga aktif mendampingi warga.
Sejalan dengan pendidikan baca-tulis dan pendidikan dasar lainnya, kaum perempuan kemudian diajari berbagai keterampilan. Selain mengolah tongkol jagung, ada juga kelompok menjahit, pembuatan kue dan makanan ringan, hingga menganyam daun lontar.
Di sekitar Desa Kareloe juga tumbuh banyak pohon lontar sehingga memudahkan kelompok penganyam mendapatkan bahan baku. Untuk kue dan makanan ringan, warga memanfaatkan bahan yang mudah diperoleh, seperti ubi, ketela, daun kelor, hingga bayam.
Untuk pemasaran, produk karya perempuan Desa Kareloe dibawa ke berbagai pameran. ”Kalau ikut pameran, biasanya banyak yang memesan. Pesanan biasanya datang dari kantor pemerintah, perusahaan, sekolah, atau warga yang menggelar hajatan,” kata Syamsiah, anggota kelompok lainnya.
Sebagai contoh, untuk kelompok menjahit, pesanan biasa datang dari sekolah atau perkantoran berupa tirai dan taplak meja. Begitu juga untuk berbagai kerajinan tongkol jagung. Untuk keperluan hajatan pengantin, pesanan biasanya berupa satu set perlengkapan yang terdiri dari taplak meja, sarung bantal kursi, tirai, dan pernak-pernik lain. Begitu juga kue-kue dan berbagai makanan ringan.
Kesibukan perempuan dan remaja desa melayani pesanan dan berkreasi membuat waktu senggang mereka kini jadi lebih bermanfaat. Tidak banyak lagi istri dan anak-anak petani yang ikut ke rumah kebun dan menginap hingga berhari-hari atau berbulan-bulan. Waktu senggang kini dimanfaatkan untuk belajar aksara dan keterampilan.
Kepala Desa Kareloe Hamzah N mengakui, program FPPI telah membuat buta aksara di desa itu yang dahulu sekitar 40 persen kini makin berkurang. ”Warga, terutama kaum perempuan, lebih terampil. Berbagai persoalan desa juga pelan-pelan ditemukan solusinya,” katanya.
Kegigihan perempuan desa berjuang keluar dari keterbatasan membuat Desa Kareloe kini menjadi desa percontohan vokasi di Jeneponto. Keberhasilan Desa Vokasi Kareloe segera diterapkan di desa lain.