PURWOKERTO, KOMPAS — Kepolisian Resor Banyumas menangkap seorang pemuda berinisial ZA (27) dalam kasus pencabulan. Sebanyak 8 remaja laki-laki di bawah umur menjadi korban pencabulan.
”Modusnya adalah dia mengajak orang-orang yang dikenal untuk menonton film biru bersama-sama di laptopnya. Di sana banyak video porno. Saat korban terangsang, dia mulai mencumbu,” kata Kepala Polres Banyumas Ajun Komisaris Besar Bambang Yudhantara Salamun, Selasa (2/1), di Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah.
Selain mencumbu bibir, pencabulan yang dilakukan ZA antara lain mencumbu seluruh tubuh korban. ”Sampai saat ini sudah ada 8 korban yang melaporkan. Namun, kemungkinan bisa bertambah. Usia korban rata-rata 13-19 tahun,” kata Bambang.
Dalam melakukan aksinya, kata Bambang, tersangka ZA juga merekam dengan kamera dan menyimpannya di telepon selulernya. ”Total video yang ada di telepon selulernya ada 5,” ujar Bambang.
Tindakan pencabulan yang dilakukan oleh ZA diduga sudah berlangsung lama atau lebih dari dua tahun. Tersangka merupakan warga yang tinggal di Kecamatan Gumelar, Kabupaten Banyumas. ”Tersangka pernah mengalami pencabulan pada saat kuliah atau sekitar umur 19-20 tahun,” tutur Bambang.
Bambang menyampaikan, tersangka ditangkap pada 22 Desember 2017 di Batam setelah melarikan diri sekitar seminggu. Atas perbuatannya, tersangka dikenakan Pasal 82 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Ancaman hukumannya adalah penjara lebih dari 5 tahun.
Barang bukti yang disita kepolisian antara lain sepotong kaus, celana pendek, celana dalam, laptop, dan kamera.
Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Jender dan Anak Kabupaten Banyumas Tri Wuryaningsih mengatakan, kasus paedofilia dan kekerasan seksual terhadap anak harus menjadi perhatian. ”Kampanye antikekerasan harus terus dilakukan, ancaman-ancaman hukuman yang tinggi bagi pelaku kekerasan harus dipublikasikan agar pelaku atau calon pelaku tahu hukumannya,” kata Tri.
Menurut Tri, para korban kebanyakan adalah anak-anak yang sedang mengalami masa puber dan bertemu orang yang punya orientasi seksual yang menyimpang. ”Ini bisa menimbulkan trauma. Para pelaku sodomi, paedofil, awalnya adalah korban. Pengalaman yang tidak ditangani dan diterapi itu akan terus tersimpan di alam bawah sadarnya sampai mengubah orientasi seksualnya,” kata Tri.
Tri juga menyampaikan, komunikasi dan pendekatan yang intens antara orangtua dan anak juga menjadi kunci pencegahan kasus-kasus tersebut. Nasihat dan peringatan akan bahaya perilaku seksual yang menyimpang dapat dikomunikasikan dengan bahasa yang mudah dipahami anak, tetapi tidak vulgar, serta disampaikan di sela-sela waktu bercanda dengan anak.
”Orangtua sering abai, sering tidak memperhatikan perkembangan anak. Komunikasi anak dan pendekatan yang baik menjadi kunci utama. Dikiranya anak baik-baik saja, penurut, pendiam, tetapi ternyata dia menyimpan sesuatu,” tuturnya.