Memulas Bibir Rawa Pening
Itulah secuil potret sore di Bejalen, kampung yang terletak sekitar 3 kilometer sebelah tenggara pusat kota Ambarawa. Sebutan ”kampung warna-warni” melekat pada desa yang kerap didatangi para pemburu swafoto dari Ambarawa, Semarang, dan sekitarnya.
”Perubahan mulai terasa sejak pembetonan jalan dan pembangunan talut sungai pada 2016 lalu,” ujar Sriyati (65), warga Desa Bejalen.
Memanfaatkan keindahan danau dengan latar belakang perbukitan, sejak lama Bejalen menawarkan wisata, menyusuri Kali Werno hingga Rawa Pening dengan perahu. Namun, pamornya terus surut. Saat musim hujan, desa itu dilanda banjir akibat limpasan air Kali Werno dan Rawa Pening.
Menurut Rini Suratih (46), warga Bejalen lain, ancaman banjir menghantui warga saat musim hujan. Genangan air setinggi lebih dari 50 sentimeter jadi langganan setiap hujan datang. Air baru surut beberapa jam kemudian.
Namun, setahun terakhir, kehidupan warga Bejalen membaik. Khususnya, sejak kucuran dana desa dimanfaatkan memperbaiki infrastruktur mitigasi banjir seperti talut dan pembetonan jalan. Ancaman bencana ditekan, akses warga pun lancar.
Pulasan dinding rumah dengan cat warna-warni membuat ekonomi warga membaik. Salah satu indikatornya, kian banyak warga membuka warung. ”Dulu, hanya ada lima warung di sekitar kali, tetapi sekarang lebih dari 10 warung. Ada juga yang buka warung makan, seiring semakin banyaknya pengunjung yang umumnya anak muda,” ujar Sriyati yang juga membuka warung.
Kepala Desa Bejalen Nowo Sugiarto mengatakan, pada 2016, dana desa digunakan untuk pembangunan rabat beton pada jalan di samping Kali Werno. ”Ini mendesak karena hampir setiap hujan deras, air menggenangi jalan-jalan sekitar rumah warga. Tak hanya dari sungai, tetapi juga kiriman dari atas (dataran tiggi) melalui
gorong-gorong,” ujarnya.
Membangun pola pikir
Nowo mengakui, saat ditetapkan sebagai desa wisata oleh Pemkab Semarang pada 2009, warga Desa Bejalen belum siap. Penyebabnya, pola pikir warga tentang desa wisata, ketika itu, belum terbentuk. Potensi wisata di desa itu awalnya tidak terkelola baik. Apalagi, permasalahan sampah menghantui.
Seiring kian ramainya wisatawan, pola pikir mengembangkan Bejalen sebagai desa wisata mulai terbangun. ”Kami mulai kedatangan tamu, di antaranya anak-anak sekolah dari kota yang ingin mengetahui kehidupan di desa. Itulah yang kami jual, bagaimana wisatawan merasakan aktivitas bertani atau menangkap ikan di rawa,” kata Nowo.
Optimalisasi desa wisata terus dilakukan, antara lain sosialisasi saptapesona, yakni aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah, dan kenangan. Itu terus ditanamkan guna mendongkrak pengunjung ke Desa Bejalen. Dengan demikian, perekonomian warga terangkat.
Walau belum sempurna, pengelolaan wisata di Bejalen kini semakin baik. Terlebih, pada 2011, masalah pengelolaan sampah mulai teratasi dengan dibangunnya tempat pembuangan sementara. Warga bahumembahu berbenah dan menyuguhkan konsep wisata yang menarik bagi wisatawan.
Penataan wilayah juga semakin ideal seiring dikucurkannya dana desa dalam tiga tahun terakhir. Pada 2015, dana desa untuk Bejalen Rp 350 juta, pada 2016 sebesar Rp 640 juta. Pada 2017, besaran dana desa Rp 770 juta.
Membenahi pariwisata
Kendati pembangunan fisik infrastruktur masih jadi prioritas, pihak desa juga mengalokasikan dana desa untuk membenahi sektor pariwisata. Nowo dan warga Desa Bejalen sadar, pembangunan fisik tidak boleh melenyapkan keasrian alam.
”Kami utamakan kenyamanan warga dulu. Pinggir sungai harus rapi. Talut diperlukan sebagai pengamanan. Namun, akses ke sawah, misalnya, tetap berupa tanah,” kata Nowo.
Kini, selain wisata air, Desa Bejalen terkenal dengan wisata swafoto. Pengelola pariwisata setempat mempercantik sudutsudut desa dan memanfaatkan keasrian alam sebagai modal menarik turis. Banyak titik swafoto jadi andalan. Tak cuma latar gambar warna-warni tembok rumah warga, pengunjung juga bisa mengunjungi perahu rakitan yang dibangun di atas hamparan sawah.
Nowo bercerita, medio 2017, saat kampung warna-warni pertama kali dikenal publik, pemasukan desa mencapai Rp 63 juta dalam tiga bulan. ”Saat itu kampung warna-warni viral lewat media sosial. Namun, setelah itu biasa lagi. Kami sadar, selanjutnya menjadi tantangan kami untuk terus berinovasi,” katanya.
Tarif naik perahu dari Kali Werno ke Rawa Pening, dengan jarak sekitar 1,5 kilometer, Rp 30.000 per orang. Satu perahu berkapasitas 4-5 orang. Saat libur Lebaran, tarif menjadi Rp 50.000 per orang. Dalam sebulan, pemasukan berkisar Rp 3,5 juta-Rp 4 juta.
Nowo mengatakan, swakelola dana desa untuk infrastruktur masih terhambat waktu pengerjaan. Perbaikan infrastruktur sulit dilakukan pada Januari hingga Juni karena musim hujan. Untuk itu, pihaknya mengoptimalkan pekerjaan saat musim kemarau.
Sejak 2017, dana desa di Bejalen dimanfaatkan untuk mengembangkan badan usaha milik desa (BUMDes). Ini dilakukan agar ada perputaran uang. Jika sewaktu-waktu tak ada lagi dana desa, Desa Bejalen diharapkan dapat mandiri lewat pengelolaan BUMDes yang matang dan profesional.
Sejumlah unit yang ditangani BUMDes Bejalen adalah wisata, jasa, pinjaman bergulir, dan
bank sampah. ”Pada unit jasa, misalnya, kami membeli satu mesin molen beton (alat
pengaduk adonan cor) beserta mesin seharga Rp 13 juta. Menurut rencana, mesin tersebut akan kami sewakan,” ujarnya. Saat ini, kata Nowo, mesin masih dipakai sendiri, karena jika menyewa tarifnya mahal.
Ke depan, BUMDes ditargetkan menjadi penggerak ekonomi desa walau sejauh ini pengelolaannya masih bersifat sukarela. Terkait upah, belum sama dengan upah minimum kabupaten. Namun, pemerintah desa berkomitmen nilainya akan terus meningkat sesuai perkembangan BUMDes.
Warga Bejalen sadar, pengelolaan dana secara tepat telah menjauhkan mereka dari bencana. Sebagai bonus, ekonomi desa terangkat dan penghidupan warga membaik.