”Ngarot”, Perlawanan dari Lelea
Ratusan tahun sudah masyarakat Desa Lelea, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, mempertahankan tradisi ngarot. Ritual memasuki musim tanam itu menjadi simbol perlawanan terhadap arus industrialisasi yang menggeser budaya agraris di lumbung padi itu.
Rabu (27/12) pagi, Desa Lelea semarak oleh arak-arakan adat ngarot. Sebanyak 85 gadis muda berdandan bak bidadari berkebaya putih, berselendang, dan bermahkota bunga. Ada pula 94 pemuda desa berkostum hitam- hitam.
Keluarga dan warga setempat mengawal mereka berkeliling desa. Jepretan belasan kamera berebut menangkap wajah para gadis ngarot. Ribuan warga Indramayu, bahkan dari luar Indramayu, berdesakan demi menyaksikan pawai itu.
Keramaian menjadi-jadi karena sisi jalan desa sepanjang hampir 2 kilometer dipenuhi pedagang kaki lima. Mereka menjual hasil bumi, seperti nanas dan semangka, minuman, serta pakaian. Sejumlah pengemis dan pengamen ikut turun ke jalan mengais rupiah.
Setelah mengitari desa, acara adat dipusatkan di balai desa. Para remaja yang menjadi lakon utama ngarot diundang pemuka adat ke depan panggung untuk menerima bibit padi hingga perkakas pertanian. Inilah acara inti ngarot, regenerasi petani di Lelea. Sangat berbeda dengan pembagian bibit padi oleh pemerintah kepada petani pada banyak acara seremonial.
Setelah itu, gadis dihibur tari topeng lanang, sedangkan jejaka desa disuguhi tari ronggeng ketuk. Persilangan itu disimbolkan menghasilkan kesuburan tanah.
”Kami masih mempertahankan ini. Di desa lain yang masih melaksanakan ngarot, tari ronggeng dan topeng diganti organ tunggal,” ujar pemimpin adat yang juga Kuwu (Kepala Desa) Lelea Raidi.
Budaya agraris
Ngarot dicetuskan oleh Mbah Buyut Kapol, tokoh desa, pada 1648. Sepanjang hidup, ia mengajak remaja bercocok tanam. Panennya di lahan seluas 2,6 hektar pun berlebih karena dibantu remaja desa.
Sebagai tanda terima kasih, Mbah Kapol yang juga pernah menjadi kuwu menyuguhkan berbagai minuman, seperti bajigur dan wedang, sebelum musim tanam datang. Itu sebabnya ritual tersebut disebut ngarot, dalam bahasa setempat berarti ’minum-minum bersama’. Lahannya juga dijadikan tanah adat yang dikelola desa untuk warga, bukan jadi milik pribadi.
Kini, 369 tahun berlalu, warga Lelea melestarikan ngarot. Pada saat yang sama, sejumlah desa tetangga tak lagi rutin menjalankan tradisi itu.
”Pelaksanaan ngarot ini swadaya warga, ada yang menyumbang Rp 5.000 sampai Rp 6 juta. Kami belum terima sponsor,” ujar Raidi.
Dinda Fitria (15), gadis yang ikut ngarot, mengaku menghabiskan uang orangtuanya
Rp 500.000 untuk keperluan busana dan lainnya. ”Tidak apa- apa. Bangga bisa jadi gadis ngarot,” ujar siswi SMPN 1 Lelea yang telah tiga kali ikut tradisi ini.
Menurut dia, selama arak- arakan, keluarga dan tetangga memberikan uang hingga Rp 300.000. Ia mengartikan itu sebagai apresiasi warga bagi remaja yang ikut ngarot. Bibinya, Sinih (45), mengatakan, jika gadis tidak ikut ngarot nanti dibilang pelit.
”Kalau soal leluhur jangan pelit,” ucap Sinih. Ungkapannya terdengar asing pada masa kapitalistik saat ini, ketika orang-orang berlomba mengakumulasikan modal tiada batas.
Ngarot juga menjadi penanda masuknya musim tanam. Sebelum itu, tandur belum dimulai. Raksa Bumi (bagian pertanian) Desa Lelea, Durki (55), menceritakan bagaimana pemerintah mengajak warga untuk menanam padi tiga kali. Pasokan air bahkan dijamin.
”Kami menolak. Ini tidak sesuai adat,” ucapnya. Di Lelea, tanam padi hanya dua kali. Seperti saat ini, musim tanam pertama dimulai Desember dan kedua biasanya April. Pada Agustus hingga Oktober, petani mengistirahatkan lahan atau mengganti padi dengan palawija.
”Kalau tanah tidak dikeringkan nanti mudah terserang hama dan klowor (penyakit kerdil hampa),” ujarnya. Ia mencontohkan, lahan garapannya seluas 0,35 hektar pada tanam kedua mencapai 3 ton gabah kering panen (GKP). Tidak sampai 20 persen dari 360 hektar sawah desa terserang klowor.
Kondisi itu berbeda dengan daerah lain yang rusak akibat hama. Indramayu, misalnya, yang mampu menghasilkan 1,7 juta ton GKP setiap tahun, Oktober kali ini tercatat minus 500.000 ton GKP dari target produksi.
Lahan yang tak diistirahatkan dinilai menjadi penyebabnya. Apalagi, pada 2016, ketika kemarau basah, pasokan air yang mencukupi membuat petani terus menanam padi. Pada titik ini, ngarot merupakan kearifan lokal untuk melawan nafsu meningkatkan produksi tanpa mempertimbangkan kelestarian lingkungan.
Tantangan
Apakah perlawanan warga Lelea berakhir dengan kemenangan? Jawabannya mungkin tak akan muncul saat ini. Petani setempat umumnya masih bergantung pada pupuk dan obat kimia. Ini tidak bisa dilepaskan dari Revolusi Hijau yang digalakkan Pemerintah Orde Baru sejak 1970-an.
Tidak hanya itu, seperti di desa-desa lain di Jawa, semangat bertani anak muda Lelea juga meredup. Durki memperkirakan, dari 4.500 warga desa, tinggal separuh yang bertani. Selebihnya berdagang, pegawai, atau jadi kuli.
Meningkatnya taraf pendidikan warga membuat mereka menjauh dari sawahnya dan memimpikan tinggal di kota. ”Dulu, waktu saya kecil, hampir semua bertani. Sekarang, untuk cari buruh tani harus keluar desa, bahkan kecamatan,” katanya.
Tamara Agustin (16), gadis yang ikut ngarot, bercita-cita menjadi pengusaha. ”Kalau petani, ya, sampingan saja,” ucap anak petani ini.
Di Indramayu, dengan lahan sawah 116.000 hektar, produk domestik regional bruto di sektor pertanian hanya 17,9 persen. Jauh dibandingkan sumbangan sektor industri dan pengolahan yang mencapai 44,69 persen. Artinya, pertanian bukan lagi kekuatan ekonomi Indramayu.