PONOROGO, KOMPAS — Sebanyak 77 jiwa dari 106 jiwa korban banjir bandang di Desa Nglindeng, Kecamatan Sawoo, Ponorogo, Jawa Timur, hingga Rabu (3/1), masih mengungsi di kantor kecamatan setempat. Selain rumah mereka penuh lumpur, warga khawatir banjir susulan terjadi setiap waktu karena hujan terus mengguyur.
Ratusan anggota Tagana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Ponorogo, kepolisian, TNI serta relawan, dan masyarakat lokal bekerja bahu membahu membersihkan lumpur dan dahan pohon yang tumbang. Material itu memenuhi permukiman warga, jalan desa serta fasilitas ibadah di Dusun Bendo, Desa Nglindeng, karena terbawa banjir bandang.
Kepala Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi BPBD Ponorogo Setyo Budiono mengatakan, banjir bandang yang terjadi Selasa malam menerjang 42 rumah dan sebuah mushala. Ketinggian air mencapai 50 sentimeter-1,5 meter di dalam rumah warga.
”Malam itu juga BPBD dibantu kepolisian dan relawan mengevakuasi warga dari rumahnya ke lokasi pengungsian yang tersebar di lima titik,” ujar Setyo.
Rabu pagi, warga kembali ke rumah untuk bersih-bersih. Namun, kegiatan itu terkendala terbatasnya air bersih untuk menyemprot lumpur. Akibatnya upaya pembersihan dihentikan sementara dan dilanjutkan Kamis ini setelah ada bantuan air dari pemerintah.
Untuk memenuhi kebutuhan logistik, para warga, relawan, dan BPBD telah mendirikan dapur umum. Selain itu, Pemkab Ponorogo juga menyalurkan bantuan, seperti selimut, alas tidur, perlengkapan mandi, dan kebutuhan dasar lainnya.
Setyo mengatakan, banjir bandang disebabkan hujan deras yang terus mengguyur Ponorogo. Hujan menyebabkan volume air di Sungai Bendo meningkat. Air meluber keluar dan menghanyutkan material tanah untuk proyek pembangunan Waduk Bendo. Alirannya deras menuju permukiman warga.
Bupati Ponorogo Ipong Muchlissoni saat berkunjung ke lokasi bencana memerintahkan instansi terkait agar menormalisasi sungai supaya aliran airnya lancar dan tidak meluber ke permukiman warga. Material yang ada di bibir sungai supaya dibersihkan agar tidak menghambat laju air.
Longsor
Sementara itu, bencana tanah longsor masih mengancam sejumlah wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta awal tahun 2018 ini. Di Kabupaten Bantul, misalnya, bencana tanah longsor mengancam dua bangunan sekolah.
Kedua sekolah itu adalah SD Seropan dan SMP Muhammadiyah 2 Dlingo di Desa Muntuk, Kecamatan Dlingo, Bantul. Dua sekolah yang lokasinya berdekatan itu akhirnya memutuskan memindahkan kegiatan belajar-mengajar ke tenda dan gedung lain yang berada di lokasi aman.
Kepala Sekolah SD Seropan Wagiran mengatakan, kegiatan belajar-mengajar terpaksa dipindahkan karena bangunan sekolah itu terancam longsoran tebing yang ada di belakang SD. Kepala Sekolah SMP Muhammadiyah 2 Dlingo Maryono mengatakan, kegiatan belajar-mengajar dipindahkan sejak Rabu. (NIK/HRS)