Menyapa Gajah di Aek Nauli Toba
Aek Nauli, hutan dataran tinggi di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, kini ketempatan empat gajah itu. Gajah-gajah itu didatangkan dari Pusat Latihan Gajah (PLG) Holiday Resor di Kabupaten Labuhan Batu Selatan, Sumatera Utara.
Gajah-gajah jinak itu dipindahkan sebagai bagian dari program edukasi pelestarian alam sekaligus mendukung pengembangan pariwisata Danau Toba di lokasi yang diberi nama Aek Nauli Elephant Conservation Camp (ANECC).
Konservasi berada di hutan dengan tujuan khusus Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Aek Nauli di tepi jalur lintas Sumatera, antara Pematang Siantar dan Parapat. Lokasi itu dapat dicapai dengan kendaraan roda empat pribadi atau sewa dengan waktu sekitar 30 menit dari Pematang Siantar atau 5 menit dari kota wisata Parapat di tepi Danau Toba.
Untuk menuju Aek Nauli yang berjarak sekitar 170 km dari Medan, ada angkutan umum dari Medan dengan ongkos Rp 40.000-Rp 50.000. Bisa juga memilih naik travel berupa mobil kijang dengan biaya Rp 70.000-Rp 80.000. Wisata ke Aek Nauli lebih baik dilakukan dalam satu rangkaian dengan kunjungan ke Danau Toba.
ANECC dibuka resmi 7 Desember lalu. Pengelola belum menarik tiket masuk. Pengunjung hanya perlu membubuhkan nama dan tanda tangan di buku tamu.
Untuk mencapai tempat gajah sumatera (Elephas maximus sumatrensis) berada, pengunjung perlu jalan kaki sekitar 30 menit memasuki hutan Aek Nauli. Jalan setapak 1,5 meter sudah dipercantik dengan conblock atau balok beton. Suasana sejuk dan dingin. Pohon-pohon pinus berumur puluhan tahun memenuhi kanan-kiri jalan.
Ada empat gajah di area konservasi, yakni gajah betina bernama Siti (37 tahun), Pini (30), dan Ester (36), serta satu-satunya gajah jantan, Luis Vigo (11), gajah kelahiran PLG Holiday Resor. Tiga gajah betina merupakan gajah liar yang tertangkap dan dijinakkan. Pini ditangkap di Sosa, Padang Lawas, Sumut, tahun 1997. Sementara Siti dan Ester dari Palembang dan dikirim ke PLG Holiday Resor pada 1995.
Hutan pinus
Saat Kompas datang ke ANECC, pertengahan Desember lalu, gajah-gajah itu ditempatkan di tengah hutan pinus dengan salah satu kaki terikat rantai ke pohon pinus. Mereka menggeram saat orang asing datang mendekat. ”Mereka masih kedinginan,” kata Koordinator Mahot ANECC Sabirin Pardosi.
Empat gajah itu masih menyesuaikan diri dengan iklim Aek Nauli yang berada di ketinggian sekitar 1.200 meter di atas permukaan laut (mdpl). Biasanya mereka tinggal di Holiday Resor, dataran rendah dengan ketinggian 300 mdpl. Kawasan jelajah gajah ada pada 0-1.500 mdpl.
Mereka tiba di Aek Nauli pada 17 November lalu sehingga saat itu masih tahap penyesuaian. Para mahotmengikuti gajah-gajah itu berpindah tugas dari PLG Holiday Resor ke Aek Nauli.
Di kawasan ANECC, ada panggung atraksi gajah, ruang perawatan gajah, dan gedung informasi gajah yang saat itu belum dibuka.
Pagi itu, setelah dilepas rantainya dan diberi pisang, ketiga gajah diajak jalan-jalan oleh mahot. Salah satu gajah, Siti, sedang dilatih untuk memahami perintah mahot. Para mahot terlihat dengan sabar mengajar. Siti diberi pisang saat mematuhi perintah mahot. Para mahot juga menepuk-nepuk punggung dan kaki Siti.
Ada 10 pengunjung yang datang ke ANECC pagi itu. Mereka antusias melihat para mahot mengajari gajah. Anak-anak, remaja, dan orangtua berkumpul di dekat tempat latihan. Bocah-bocah terpukau melihat gajah yang dilepas bebas, bukan di dalam kandang.
Mereka meraba gajah yang berkulit sangat tebal dan keras lalu berfoto bersama. Orangtuanya mengabadikan dengan kamera ponsel. Seorang pengunjung bahkan mencoba naik ke punggung gajah.
Para pengunjung mengetahui gajah di Aek Nauli dari mulut ke mulut. ”Katanya pukul 09.00 diberi makan, maka saya ke sini,” kata Budi, pengunjung dari Pematang Siantar.
Setelah satu jam dilatih dan berkeliling sekitar lokasi, para gajah diajak turun ke kolam untuk dimandikan. Seekor gajah bersuara melengking saat masuk ke air. ”Mereka kedinginan,” kata Sabirin. Namun, tak lama kemudian para gajah menyelam dan bermain dengan mahot yang menggosok tubuh mereka. Mereka juga bisa diminta menyemprotkan air ke udara.
Setelah dimandikan gajah diajak ke tengah hutan. Sekitar pukul 16.00, gajah dibawa kembali ke kandang terbukanya.
Menurut Sabirin, setiap hari seekor gajah perlu 200 kg rumput dan dua tandan pisang. Buah lain seperti semangka dan nenas diberikan untuk variasi pangan supaya tidak bosan.
Menurut Wakil Koordinator Mahot ANECC Sulistyono, dari keempat gajah itu, Luis Vigo paling jinak. Ia bisa mengalungkan bunga pada tamu, melakukan perintah mahot seperti duduk dan berdiri, dan ramah pada pengunjung.
Meski Aek Nauli berupa hutan dengan tujuan khusus, pengunjung tak perlu khawatir kelaparan. Ada warung makan sederhana di dekat pintu masuk ANECC, tepatnya di halaman BP2LHK. Toilet juga tersedia di halaman BP2LHK dan ANECC.
Sarana edukasi
Gajah di ANECC bukan untuk pertunjukan seperti dalam sirkus. Gajah menjadi sarana edukasi bagi pengunjung untuk memahami konservasi lingkungan.
Kepala Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Wilayah II Pematang Siantar Seno Pramudito mengatakan, warga bisa melihat aktivitas keseharian gajah dari makan, mandi, dan diangon. Jika ada atraksi yang dilakukan semata-mata untuk kepentingan edukasi konservasi hutan. ”Terkait tiket, kami masih menunggu aturan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Semoga Februari sudah ada,” kata Seno.
Diharapkan, Luis Vigo dan gajah lainnya, selain menghibur, juga menyadarkan wisatawan yang berkunjung ke Danau Toba untuk melindungi mereka dari kepunahan akibat pembalakan liar, penyusutan dan fragmentasi habitat, serta pembunuhan akibat konflik lahan dan perburuan gading.