Saat Orang-orang Desa ”Dipaksa” Membuat Majalah
Oleh
·3 menit baca
Pernah lihat perawat dan bidan desa, sekretaris desa (carik), serta anak muda desa belajar menjadi jurnalis desa? Mereka merencanakan berita yang akan terbit, mewawancara, menuliskannya menjadi sebuah berita, mengedit, kemudian mencetaknya menjadi majalah desa.
Hal itu terjadi pada 14 kecamatan di Kabupaten Malang, Jawa Timur, pada November-Desember 2017. Saat itu, komunitas warga pada 14 kecamatan itu secara simultan mendapat pelatihan jurnalistik yang membentuk media komunitas.
Kegiatan dilakukan Gerakan Sehat Cerdas (GSC) Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Pelatihan menargetkan setiap kecamatan mampu menerbitkan majalah kecamatan minimal dua kali penerbitan, yaitu November dan Desember 2017. Pelatihan diberikan penulis desa, jurnalis, dan layouter, selama dua hari (sehari untuk materi penulisan dan sehari untuk layout). Selain diajari menulis, saat itu juga dibentuk struktur organisasi media di tingkat kecamatan.
Awalnya tidak mudah mengajak warga desa mengenali potensi di desanya. Mereka merasa tidak banyak hal bisa ditulis. Namun, saat diajak berdiskusi, mereka menemukan potensi-potensi terpendam yang bisa dikembangkan di wilayah masing-masing.
”Masyarakat sekarang lebih banyak mengetahui dan terbiasa dengan berita-berita negatif. Sehingga untuk menggali berita positif agak kesulitan. Namun, setelah diajak berdiskusi, mereka pun bersemangat menulis potensi di desa masing-masing,” kata Iman Suwongso, pemateri pelatihan media komunitas, Desember 2017.
Nurita Dwi Arini, perawat asal Desa Pagelaran, awalnya bingung menulis apa tentang desanya. Akhirnya, ia memutuskan menulis soal hal-hal yang diketahuinya, yaitu posyandu lansia. Nurita mengirimkan beberapa daftar pertanyaan untuk meliput posyandu lansia kepada pendamping media komunitas, yang tergabung dalam sebuah grup. Setelah didiskusikan, akhirnya bahan liputan selesai dan seminggu kemudian tulisan Nurita sudah jadi dan siap edit.
Tidak jauh berbeda, Jefri, pemuda asal Kecamatan Wagir, akhirnya bersemangat menulis potensi wisata di desanya. Seminggu setelah pelatihan jurnalistik, Jefri rupanya sudah naik gunung dan mengabadikan sunrise di Puncak Watu Tulis, Kecamatan Wagir. ”Keajaiban Watu Tulis,” demikian tulisan perjalanan yang ditulis Jefri dengan indahnya.
Dari 14 kecamatan tersebut, akhirnya terungkap bahwa ada banyak potensi di setiap kecamatan. Potensi itu ada yang sudah maju dan ada yang butuh bimbingan agar lebih menguat. Kecamatan Ngajum, misalnya akhirnya diketahui sebagai sentra bibit lele dan UKM kerupuk, Kecamatan Tajinan memiliki wisata Telaga Jenon dan UKM telur asin, atau Kecamatan Pagelaran yang memiliki sentra pembuatan gerabah yang bila dikelola dengan baik bisa menyamai pusat gerabah Kasongan, DIY.
Anggota media komunitas itu juga menemukan beberapa gerakan masyarakat yang membantu membuka lapangan kerja di daerahnya. Ayu, warga Kecamatan Ngantang, misalnya, menemukan adanya pengusaha kopi di Ngantang di mana memberdayakan ibu-ibu korban PHK dari sebuah pabrik rokok.
Arief Agung Wijaya, fasilitator GSC Kabupaten Malang, mengaku media komunitas bisa menjadi salah satu upaya menguatkan kesadaran masyarakat dan memantau perkembangan pelayanan sosial dasar di wilayahnya. ”Ini mendidik warga untuk sadar dan peduli dengan lingkungannya, dan dituangkan dalam bentuk tulisan yang membangun,” katanya.
Deputi Bidang Advokasi Unit Kerja Presiden (UKP) Pembinaan Ideologi Pancasila Hariono mengatakan, persoalan di desa penting untuk dicermati, sebagai bagian dari perkembangan bangsa. Sebab, desa kini menjadi suatu pemerintahan tersendiri yang mampu menentukan arah perkembangannya. (DIA)