Tragedi Transportasi di Kampar Kiri
Sardi (55) sedang sakit keras dan dirawat di rumah anaknya, Suryono (28), di Desa Sungai Terantang, Kecamatan Kampar Kiri, Kampar, pada Minggu, 31 Desember 2017. Tubuh petani setengah baya itu sekarat. Tanpa pertolongan medis, nyawanya jelas terancam.
Membawa Sardi ke luar desa demi perawatan medis, menjadi pekerjaan luar biasa sulit. Betapa tidak? Jalan menuju Lipat Kain, ibu kota Kecamatan Kampar Kiri, dalam kondisi hancur lebur bak kubangan kerbau. Apalagi pada hari itu, hujan turun sejak pagi. Jangankan kendaraan roda empat, sepeda motor pun sangat sulit menerobos lumpur tebal berkedalaman sampai 50 sentimeter itu.
Karena tak mungkin bertahan dan cuma menunggu di desa, Suryono dan beberapa tetangga bersikukuh membawa Sardi dengan menggunakan mobil bak terbuka. Celakanya, sesampainya di Desa Sungai Asam, air Sungai Subayang meluap ke jalan. Malang tak kuasa ditolak, mobil tidak dapat melintas.
Tubuh lunglai Sardi kemudian diangkut dengan tandu, melewati banjir. Adapun mobil bak terbuka ditinggalkan di seberang. Sardi lantas diangkut dengan truk yang dikemudikan Burhanudin (40), besan Sardi, yang berasal dari Desa Tanjung Mas. Namun, lagi-lagi perjalanan dengan truk itu harus terhenti, karena jalan terputus akibat sebuah truk pengangkut kelapa sawit terperosok di kubangan besar. Puluhan truk kelapa sawit lain sudah mengantre di belakangnya.
Setelah berganti kendaraan sebanyak tiga kali dan diusung tandu, akhirnya rombongan Burhanudin dan Suryono tiba di Desa Tanjung Mas yang berjarak sekitar 8 kilometer dari titik awal. Sardi langsung dibawa ke rumah bidan desa untuk mendapat pertolongan pertama.
Namun, lagi-lagi, sang bidan tidak berada di tempat. ”Sardi kami bawa ke rumah adiknya. Masih di Desa Tanjung Mas juga. Namun, sebelum sampai ke rumah, dia sudah meninggal,” kata Burhanudin, Sabtu (6/1).
Ia mengatakan, Suryono kemudian membawa jenazah bapaknya untuk dimakamkan di rumah keluarga di Desa Penghidupan, Kecamatan Kampar Kiri Tengah. Namun, perjalanan ke luar desa masih melewati tiga kubangan lumpur lagi yang nyaris tidak dapat dilewati kendaraan. Untungnya, ada pertolongan gelendong atau truk derek darurat yang menggunakan kabel baja, swadaya masyarakat.
Hanya salah satu
Kisah kematian Sardi, hanyalah satu tragedi semenjak jalan poros Lipat Kain, yang menuju delapan desa di Kecamatan Kampar Kiri, rusak berat sejak sebulan terakhir. Musim hujan telah meluluhlantakkan jalan tanah yang dilapisi pasir dan batu (sirtu) itu. Padahal, jalan itu merupakan satu-satunya akses darat dari dan ke luar desa, menuju ibu kota kecamatan.
Cerita Amri Sahada (25), seorang sopir pengangkut buah sawit, lain lagi. Pemuda itu bersama dua rekannya sesama sopir dan seorang mandor, sebelumnya berkonvoi dengan tiga truk, bertolak dari Pekanbaru pada Jumat, 29 Desember 2017. Namun, akibat jalan rusak, Kompas masih bertemu Amri tertahan di Kilometer 9, Desa Tanjung Harapan, pada Jumat sore.
”Sudah seminggu saya disini. Bekal Rp 1 juta yang diberikan tauke sebelum berangkat, sudah habis untuk biaya derek dan makan. Kalau mau terbebas dari sini, truk kami harus diderek gelendong sekali lagi. Mudah-mudahan, mereka (pemilik gelendong), mau diutangi,” kata Amri.
Sama seperti Amri, Midun (40), pedagang pengepul buah kelapa sawit yang merangkap sopir truk, juga sudah sepekan tertahan di jalan itu. ”Kalau saya sudah setahun di sini,” kata Midun bercanda. Yang dimaksud Midun ”setahun”, tak lain dia terjebak di jalan rusak sejak akhir Desember 2017. Namun, hingga pekan pertama Januari 2018, dia belum juga dapat ke luar desa.
Midun sudah membayangkan betapa ia bakal merugi besar. Buah kelapa sawit yang berada di truknya sebanyak 5 ton, dibeli dari petani seharga Rp 1,2 juta per ton atau total Rp 6 juta. Selama tertahan enam hari dijalan rusak, Midun sudah mengeluarkan biaya derek sebesar Rp 850.000. Diperkirakan, sampai dapat keluar dari jebakan lumpur, dia harus mengeluarkan biaya Rp 150.000 lagi, atau total Rp 1 juta. Jumlah itu belum termasuk biaya bahan bakar sebesar Rp 350.000.
Dengan kondisi sawit yang sudah tertahan sepekan di atas truk, secara otomatis sebagian besar komoditas pertanian itu membusuk. Menurut Midun, pabrik paling sedikit akan memberikan penalti 50 persen. Artinya, kalaupun dia membawa sawit sebanyak 5 ton, tetapi yang dibayar pabrik hanya setengahnya saja.
”Modal saya Rp 6,35 juta, sementara pabrik hanya membayar Rp 2.75 juta. Saya rugi Rp 2,6 juta. Kejadian seperti ini juga pernah saya alami tahun 2016,” ujar Midun.
Truk-truk yang terjebak
Pada Jumat itu, menurut Agus Riyanto (44), tokoh masyarakat Desa Tanjung Mas, setidaknya ada 100 truk pengangkut sawit yang terjebak di enam titik jalan rusak. Jika rata-rata muatan truk 4 ton, maka total buah sawit yang tertahan sebanyak 400 ton. Kalau pabrik menetapkan penalti 50 persen, berarti sebanyak 200 ton dinyatakan busuk atau harus dibuang.
Agus mengatakan, penduduk delapan desa di Kecamatan Kampar Kiri, sudah lelah menyuarakan keluhan kepada pemerintah. Kondisi jalan rusak itu sudah bertahun-tahun. Setiap kali jalan rusak, harga bahan pokok pasti naik. Sebaliknya, hasil panen kelapa sawit warga akan dihargai sangat rendah, bahkan tidak terjual.
”Kami sudah berkali-kali demo di kantor Gubernur Riau, di kantor DPRD Riau. Kami selalu dijanjikan, jalan desa kami akan diperbaiki dan dibangun. Namun, sampai sekarang janji itu tidak pernah ditepati. Sekarang ini kami sudah mendengar kabar, pada APBD 2018 tidak ada dana perbaikan jalan desa kami lagi,” kata Agus.
Gubernur Riau Arsyadjuliandi Rachman saat mengunjungi Kecamatan Kampar Kiri pada awal Desember 2017 mengatakan, salah satu programnya adalah mengedepankan pembangunan infrastruktur. Namun, perbaikan jalan di kecamatan itu baru dapat dilaksanakan pada 2019.
Rizal Maas (29), pemuda Desa Tanjung Harapan, saat dijumpai sedang mendorong sepeda motor di jalan penuh lumpur, langsung mengeluarkan sumpah serapah. ”Kami tidak percaya lagi dengan gubernur dan anggota DPRD yang selalu berjanji. Kalau nanti ada pilkada atau pemilu, kami tidak akan memilih mereka,” kata Rizal.
Akses jalan di Kecamatan Kampar Kiri sekilas tidak begitu penting. Namun, jalan itu sebenarnya sudah direncanakan menjadi jalur alternatif dari Pekanbaru menuju Payakumbuh, Kabupaten Limapuluh Kota di Sumatera Barat.
Jalur Pekanbaru-Payakumbuh-Bukit Tinggi yang ada sekarang ini, sangat rawan longsor dan banjir, terutama di Kecamatan XIII Koto Kampar, Riau dan Kecamatan Pangkalan di Kabupaten Limapuluh Kota.
Kisah meninggalnya Sardi, juga perjuangan Amri Sahada dan Midun, seharusnya cukup untuk membuat pengambil keputusan tergerak untuk segera memperbaiki fasilitas infrastruktur tersebut. Tak perlu menunggu hingga 2019, karena itu berarti masih ada 12 bulan ke depan, warga menembus jalan dengan jerih payah luar biasa.