Impor Beras Bukan Berarti Gagal
Pemerintah akhirnya menyerah menghadapi gejolak harga beras yang tak terkendali di pasar konsumen. Mengatasi persoalan itu, pemerintah menempuh kebijakan impor beras premium setelah harga beras di Pasar Induk Cipinang, Jakarta, tembus ke Rp 12.000 per kg. Padahal, harga eceran tertinggi (HET) dipatok Rp 9.450 per kg.
Kondisi itu bukan persolan mudah untuk dicermati dan bukan hal gampang untuk diambil kesimpulan sesaat bahwa lonjakan harga itu karena permainan spekulan, distributor, dan Perum Bulog enggan menyerap beras petani, atau ada upaya untuk memasukkan beras impor?
Butuh kajian mendalam mengetahui persoalannya yang nyaris terjadi setiap tahun, yakni harga gabah kering giling (GKG) petani selalu jatuh di bawah harga pembelian pemerintah sebesar Rp 4.650 per kg. Setiap panen raya cerita sendu itu terus berulang ibarat kaset rusak.
Di sisi lain, petani yang juga konsumen beras, termasuk masyarakat selalu kelabakan mendapatkan beras dengan harga wajar saat musim paceklik. Dalam upaya mencari informasi tersebut semua pihak khususnya Kementerian Pertanian, diikuti Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, serta Bulog untuk duduk bersama membahas persoalan itu secara komprehensif. Hal ini penting untuk mengetahui secara pasti apa pemicu kekurangan komoditas pangan strategis ini di pasar.
Benarkah ada unsur disembunyikan alias ditimbun, ataukah karena faktor cuaca yang membuat harga beras tidak rasional. Jika faktor cuaca menjadi penyebab, maka akan sangat mungkin bisa segera dilakukan penambalan stok dan mengisi gudang Bulog, karena gangguan cuaca hanya bersifat sementara.
Namun, jika kelangkaan itu karena ulah distributor, spekulan, Bulog, atau pedagang beras di pasar untuk meraup keuntungan yang besar, pemerintah layak memidanakan. Kelakuan mereka bukan hanya mengacaukan harga di pasar, tetapi juga telah menyebabkan krisis pangan.
Realisasi di bawah alokasi
Apabila hasil analisis menyebut karena adanya faktor bencana yang terjadi di sejumlah sentra produksi beras, hal itu juga masih harus ditanyakan lebih mendalam. Sebab, jika mengacu pada data holding PT Pupuk Indonesia, realisasi pupuk urea ternyata di bawah alokasi.
Sebagai gambaran alokasi pupuk urea selama 2017 sebesar 4.245.000 ton, tetapi yang terpakai hanya 4.101.379 ton sehingga ada surplus 141.621 ton. Demikian juga pupuk majemuk (NPK), alokasinya 2.795.000 ton realisasinya 2.677.193 ton, masih terjadi surplus 117.807 ton.
Angka ini semakin menarik bila ditarik dari kebutuhan pupuk selama Januari 2018, di tengah maraknya bencana di beberapa wilayah di Jawa dan Sumatera, yang merupakan sentra produksi beras. Ternyata tidak terjadi lonjakan masif penebusan pupuk pascabencana. Stok per 10 Januari 2018, di lini III (kabupaten) dan lini IV (kecamatan) tetap di atas ketentuan. Total pupuk urea 367.392 ton, NPK 319.708 ton, pupuk ZA 144.765 ton, pupuk SP 36 sebanyak 149.755 ton, dan pupuk organik 89.458 ton. Totalnya 1.071.078 ton sedangkan ketentuan stok hanya sebanyak 711.857 ton.
Data di atas mengonfirmasi aktivitas tanam memang tidak terjadi. Sangat mungkin produksi beras relatif sama atau mungkin turun. Sementara pertumbuhan penduduk terus terjadi.
Jika kajian ini bisa dilakukan lebih mendalam dan lebih awal, kebijakan impor beras bukan hal yang salah. Kebijakan ini bisa disosialisasikan oleh Kementerian Pertanian kepada berbagai pihak. Pemerintah mengetahui secara pasti berapa stok beras secara riil yang mampu dikuasai oleh pemerintah.
Kondisi itu penting untuk stabilisasi harga dan pengendalian stok di pasar. Di samping itu pemerintah bisa lebih korektif terhadap data atau angka yang disodorkan oleh dinas pertanian, dinas perkebunan, dinas kehutanan, dinas perdagangan, dan Bulog, yang mungkin datanya sering tidak sinkron.
Padahal, dengan data yang akurat pemerintah bisa merencanakan berbagai kegiatan tanam sesuai dengan musim, kebutuhan pupuk, kebutuhan bibit, dan mengalokasikan dana intensifikasi pertanian sesuai kebutuhan. Dengan demikian, upaya untuk mencapai swasembada beras bukan sekadar menjadi jargon semata kementerian, tetapi menjadi pekerjaan rumah yang tetap harus dikerjakan sebagai komitmen Nawacita Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo.
Menilai kajian itu, tidak ada salahnya menempuh jalur impor terencana dan bukan dadakan seperti saat ini. Selain bisa mendapatkan kepastian keamanan stok juga harga yang stabil dan rasional. Apalagi jika merunut data dari https://www.indexmundi.com/commodities/?commodity=rice, harga beras dunia justru terus menurun. Tren penurunannya cukup dalam dari Januari sebesar 458 dollar AS per metrik ton (MT) kini menjadi 408 dollar AS per MT atau turun 50 dollar AS per MT.
Dengan tren seperti itu seharusnya kondisi dalam negeri khususnya konsumen beras, termasuk petani tetap aman. Sebaliknya program pemerintah melalui berbagai kucuran subsidi bisa lebih efektif dan membuahkan hasil yang luar biasa untuk ketahanan pangan.
Di sisi lain, pemerintah juga bisa membuat prediksi kapan paceklik dan kapan akan memasuki panen raya. Dengan demikian, petani tidak perlu khawatir rugi dengan potensi kejatuhan HPP GKG maupun GKP.
Perencanaan ini juga sekaligus menutup celah masuknya para pemain beras untuk meraup keuntungan sesaat. Kebijakan ini sekaligus akan merangsang petani meningkatkan produksi karena adanya kepastian pasokan dan waktu impor.
Kehabisan pasokan
Sementara itu, dari Lampung dilaporkan stok gabah semakin menipis membuat sejumlah usaha penggilingan padi berhenti beroperasi. Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras Indonesia (Perpadi) wilayah Lampung meminta pemerintah melakukan verifikasi ulang terhadap data produksi padi 2017.
Ketua Perpadi Lampung Midi Iswanto, Kamis (11/1), di Bandar Lampung, mengatakan, saat ini, ada sekitar 30 penggilingan di Lampung tidak beroperasi karena stok gabah habis. Kalau pun ada, jumlahnya hanya 20 ton di setiap penggilingan.
Di Sidoarjo, Jawa Timur, Pemkab Sidoarjo, meminta Bulog kembali menggelar operasi pasar di wilayahnya karena harga beras medium di tingkat konsumen jauh di atas HET. Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Sidoarjo Fenny Apridawati mengatakan, harga rata- rata beras medium di sejumlah pasar tradisional mencapai Rp 11.500 per kg. Harga ini masih berpotensi naik karena panen raya masih lama.
(vio/eta/sya/nik)