SURABAYA, KOMPAS — Kandidat peserta pilkada serentak di Jawa Timur diingatkan untuk menghindari praktik politik uang terstruktur, sistematis, dan masif. Jika terbukti terlibat politik uang, kandidat terancam dibatalkan mengikuti tahapan pilkada. Diakui, untuk pilkada, pengeluaran dana tak terhindarkan.
Tahun ini, di Jatim berlangsung 1 pemilihan gubernur, 4 pemilihan wali kota, dan 14 pemilihan bupati. Dalam penelusuran sejak tahun lalu, mustahil seorang kandidat terjun dalam kontestasi tanpa biaya. Sebagai contoh, partai politik tingkat provinsi di Jatim menetapkan biaya Rp 50 juta-Rp 100 juta per formulir pendaftaran cagub-cawagub. Biaya pendaftaran digunakan untuk administrasi, rapat, bahkan survei tingkat kepopuleran dan keterpilihan kandidat.
Demi mendapat rekomendasi partai, apakah kandidat wajib mengeluarkan biaya? Ketua Kadin Jatim La Nyalla Mattalitti ”berkicau” setelah gagal membujuk Partai Gerindra agar mendukungnya di Pilgub Jatim. Mantan Ketua Umum PSSI itu menuduh Ketua Umum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto meminta minimal Rp 170 miliar untuk dukungan partai.
Adapun Pilgub Jatim diikuti pasangan Wagub Jatim Saifullah Yusuf-anggota DPR Puti Guntur Soekarno dan Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa-Bupati Trenggalek Emil Dardak.
Ketua DPD Gerindra Jatim Soepriyatno mengatakan, seseorang mustahil didukung tanpa bermodal apa-apa. Jika partai meminta dana, itu juga dipakai untuk kepentingan kandidat yang tampil. Dana akan ”dikembalikan” dalam bentuk menggerakkan kader dan simpatisan untuk memenangi kontestasi. ”Tuduhan Pak La Nyalla tidak mendasar,” katanya, Sabtu (13/1).
Ketua PDI-P Jatim Kusnadi mengatakan, merapatnya Gerindra dan PKS ke koalisi PKB dan PDI-P pada hari terakhir pendaftaran kandidat, Rabu (10/1), tanpa ”mahar” di antara partai politik. ”Jangan semua dilihat dan diukur dari pengeluaran dana. Koalisi terbentuk bisa karena kesamaan visi, misi, dan kepentingan,” katanya.
CEO iPOL Indonesia Petrus Hariyanto pernah menggelar survei terkait berapa kebutuhan dana tiap kandidat dalam pilkada. Kesimpulannya, 20-25 persen dari biaya penyelenggaraan pilkada. Dalam konteks Pilgub Jatim, artinya 20-25 persen dari total biaya Rp 980,4 miliar untuk KPU dan Bawaslu Jatim.
Dari angka itu, diasumsikan biaya per kandidat Rp 196 miliar-Rp 245 miliar. Biaya itu tanpa menghitung modal sosial pendukung calon atau parpol yang mau bekerja tanpa imbalan.
”Biaya besar itu sudah pasti, tetapi belum tentu politik uang. Tanpa biaya, bagaimana membayar survei, saksi, logistik kampanye, transportasi, dan administrasi saat pilkada?” katanya.
Pilgub Jatim dilaksanakan di 68.115 TPS, 8.645 PPS, 666 PPK, dan 38 KPU kabupaten/kota. Untuk mengawasi penghitungan suara, perlu sedikitnya 77.464 saksi. Jika honor saksi Rp 150.000 per orang, biaya untuk saksi saja Rp 11,62 miliar.
Ketua KPU Jatim Eko Sasmito mengatakan, separuh biaya pilkada yang dianggarkan lembaganya untuk honor panitia dari jenjang provinsi sampai TPS.
Ketua Bawaslu Jatim Moh Amin mengingatkan, meski pilkada mungkin memaksa kandidat menyiapkan dana besar, jangan sampai terlibat politik uang karena ada sanksi digugurkan. ”Kami tingkatkan pengawasan untuk mencegah praktik politik uang,” katanya. (BRO)