Sipandu bagi Gangguan Pendengaran
”Alih-alih menyusun kalimat, mengucap kata pun jarang dilakukan. Saya khawatir sebab anak-anak seusianya umumnya pandai berceloteh,” ujar Urifa.
Perawat telinga hidung tenggorokan (THT) Hardiyani memeriksa telinga Nafiasa. Dia juga menabuh sebuah gendang jimbe. Tabuhan pertama kurang direspons Nafiasa. Baru setelah berkali-kali ditabuh, Nafiasa mulai bereaksi meski dirinya terlihat bingung, seperti tak mengenali sumber suara yang ada di depannya.
Singkat cerita, hasil observasi sementara, Nafiasa terindikasi mengalami gangguan pendengaran. Orangtuanya diminta memeriksakan ke RSAL dr Ramelan atau RSUD dr Soetomo untuk mendapatkan diagnosis yang akurat. Hasil pemeriksaan itu menjadi pijakan menentukan terapi yang tepat di UPT ABK Sidoarjo.
”Seluruh biaya selama terapi gratis. Pemkab Sidoarjo telah mengalokasikan anggaran untuk penanganan ABK agar mereka mendapatkan penanganan terbaik,” ujar Kepala UPT ABK Sidoarjo Nanik Sumarviati.
Gangguan pendengaran pada anak berdampak pada terlambat berbicara, mengganggu kemampuan berpikir, hingga perkembangan sosial dan emosional. Karena itu, Pemkab Sidoarjo memperkenalkan program Sipandu, akronim dari skrining (penapisan) pendengaran balita di posyandu, agar anak yang memiliki gangguan pendengaran bisa dideteksi dini serta segera diintervensi sehingga berkesempatan tumbuh dan berkembang secara optimal.
Sipandu
Nafiasa adalah satu dari 66 anak usia 0-5 tahun di Desa Seketi yang mengikuti Sipandu. Kegiatan ini hanya diadakan di lima desa di setiap kecamatan karena Sidoarjo baru memiliki satu tim Sipandu.
Tim Sipandu terdiri dari dua perawat THT dan dua terapis terlatih. Penapisan pendengaran dilakukan setelah posyandu selesai. Orangtua yang memiliki anak usia 0-5 tahun dikumpulkan dan disosialisasikan tentang tujuan penapisan pendengaran dini.
Banyak orangtua tidak menyadari jika anaknya mengalami gangguan pendengaran. Mereka menganggap biasa jika menemukan anak terlambat bicara. Padahal, jika dibiarkan, akibatnya mengancam masa depan mereka. Sebaliknya, temuan sejak dini mempercepat proses intervensi dan terapi serta memperbesar peluang mereka tumbuh seperti anak normal.
Setelah sosialisasi, petugas memeriksa telinga dan dilanjutkan dengan pembersihan serumen atau kotoran telinga. Apabila ditemukan anak yang terindikasi mengalami gangguan pendengaran langsung diintervensi dengan diminta datang ke kantor UPT ABK di Sidoarjo. Di sana, anak akan menjalani serangkaian tes pendengaran untuk memastikan dirinya mengalami gangguan pendengaran.
Apabila perawat THT merasa yakin anak yang ditemukan positif mengalami gangguan pendengaran langsung diintervensi dengan tindakan medis seperti diminta periksa ke rumah sakit rujukan. Hasil pemeriksaan menjadi acuan melakukan terapi wicara dan menentukan apakah perlu alat bantu dengar. UPT ABK Sidoarjo memiliki terapis tersertifikasi hasil kerja sama dengan Australia.
Nanik mengatakan, Sipandu merupakan idenya. Hal itu tercetus ketika dalam perjalanan pulang dari kantor menuju rumahnya, Nanik bertemu seorang anak yang bermain di dekat rel kereta. Anak itu bergeming ketika diteriaki warga karena sirene berbunyi keras penanda kereta akan melintas.
Singkat cerita, anak ini ternyata mengalami gangguan pendengaran yang parah. Dia bahkan tak bisa bicara, memiliki kemampuan berpikir rendah, dan sulit berinteraksi sosial dengan masyarakat. Dari fakta itulah, Nanik bertekad membantu masyarakat terutama anak dengan gangguan pendengaran.
Seandainya anak itu ditemukan sejak bayi, mungkin bisa diterapi dan tidak sampai tuli. Kemampuan mendengar penting sebab menjadi modal keterampilan berbicara. Anak yang tidak pernah mendengar sesuatu tidak akan bisa berbicara sebab dia tidak pernah meniru suara.
Masalah tunarungu
Bahasa anak tunarungu terbatas pada apa yang dilihatnya. Lebih jauh lagi, perkembangan kognitifnya terganggu sebab perkembangan kognitif seseorang dipengaruhi oleh perkembangan bahasa. Perkembangan kognitif dan bahasa memengaruhi inteligensi atau kecerdasan anak serta kemampuan sosial dan emosionalnya.
Fakta adanya anak dengan gangguan pendengaran bermain di tepi rel kereta menyadarkan Nanik betapa mereka terabaikan selama ini. Dia pun tertarik meyelisik lebih jauh keberadaan anak-anak dengan gangguan pendengaran di wilayahnya. Sebab, tahun 2014, jumlah anak yang mengikuti penapisan pendengaran di UPT ABK hanya 48 orang dan dua di antaranya positif mengalami gangguan pendengaran.
Sejak ada program Sipandu pada 2015, hingga awal 2018 ada 3.794 balita mengikuti penapisan pendengaran. Hasilnya, ditemukan 404 kasus balita dengan gangguan pendengaran dengan rentang usia 0-5 tahun. Balita yang ditemukan itu kemudian ditangani secara medis, mendapat terapi wicara, dan 26 di antaranya mendapat alat bantu pendengaran gratis.
”Pemkab menanggung semua biaya penanganan dan mengusahakan alat bantu pendengaran melalui kerja sama di bidang sosial dengan sejumlah perusahaan besar di Sidoarjo,” kata Nanik.
Nanik menambahkan, Sipandu tak perlu modal besar. Dia hanya mengoptimalkan alat yang ada serta sumber daya manusia yang dimiliki. Untuk terapinya, Pemkab Sidoarjo, Jawa Timur, bekerja sama dengan Pemerintah Australia di bidang pelatihan terapis dan metode terapi.
Sipandu memang sederhana dan murah. Namun, manfaatnya langsung dirasakan warga. Setidaknya hal itu dirasakan Urifah. Dua tahun belakangan, dia bingung karena tak tahu bagaimana menangani Nafiasa. Kini, jalannya terbuka, Urifah secepatnya membawa anaknya ke RSAL bermodal kartu BPJS Kesehatan. Dia berharap anaknya diterapi wicara agar kelak bertumbuh dan berkembang optimal sehingga memiliki masa depan yang cerah.
Kepala Desa Seketi Purwanto menyambut positif Sipandu karena mendekatkan pelayanan terhadap masyarakat dengan pola jemput bola. Warga desa memiliki latar belakang pendidikan beragam dan kebanyakan menengah ke bawah. Mereka awam tentang kesehatan tertentu, seperti masalah pendengaran anak yang kelihatannya sederhana, tetapi sangat penting karena memengaruhi masa depan anak mereka.