BANDA ACEH, KOMPAS — Kerusakan hutan di Aceh selama 2015 -2017 mencapai 59.449 hektar. Tingginya angka kerusakan dipicu aktivitas ilegal di dalam kawasan hutan seperti, pembalakan liar, perambahan, dan alih fungsi untuk pembangunan jalan.
Hal tersebut dipaparkan Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (Haka) dan Forum Konservasi Leuser (KEL) dalam konferensi pers di Banda Aceh, Senin (15/1). Menurut Manajer Sistem Informasi Geografi Yayasan Haka Agung Dwi Nurcahyo, pada 2015 laju kerusakan hutan mencapai 21.065 ha, 2016 seluas 21.060 ha, dan 2017 seluas 17.333 ha. Penurunan laju kerusakan pada 2017 karena kian seringnya operasi lapangan oleh penegak hukum. ”Namun, angka kerusakan masih cukup tinggi,” kata Agung.
Angka itu diperoleh dari pemantauan rutin kondisi hutan di Aceh. Pemantauan dilakukan menggunakan satelit VIIRS dan MODIS milik Badan Penerbangan dan Antariksa AS (NASA). Perambahan, pembalakan liar, dan titik api terpantau jelas melalui satelit. Setelah terpantau, anggota ranger FKL melakukan verifikasi ke lapangan. ”Hasilnya sama. Saat terpantau satelit terlihat ada aktivitas di titik koordinat itu. Saat dicek memang benar ada perambahan di sana,” ujar Agung.
Ke
rusakan terbesar terjadi di Kabupaten Aceh Utara, yakni 2.384 ha, Aceh Tengah 1.928 ha, dan Aceh Selatan 1.850 ha. Kerusakan umumnya terjadi di hutan produksi, hutan lindung, dan suaka margasatwa. Bahkan, kerusakan juga terjadi di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Pada 2017, laju kerusakan di dalam KEL mencapai 6.785 ha, sedangkan 2016 seluas 10.351 ha.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh Muhammad Nur mengatakan, kerusakan hutan berbanding lurus dengan bencan alam. ”Tahun 2017 kerugian karena bencana alam ditaksir mencapai Rp 1,5 triliun,” kata Nur.
Begitu juga dengan konflik satwa, terutama gajah. Kerusakan hutan di Geumpang, Pidie, dan Bener Meriah memicu gajah turun ke permukiman dan perkebunan penduduk.
Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Aceh Saminuddin mengatakan, setelah gencar operasi lapangan, pembalakan liar pada 2017 pun berkurang. Namun, di lapangan sering ditemukan keterlibatan oknum aparat penegak hukum. Inilah yang menjadi tantangan sendiri bagi pemerintah. ”Namun, kami akan terus batasi ruang gerak peredaran hasil hutan ilegal,” ujar Saminuddin. (AIN)