Pererat Kerukunan Warga Pongangan dengan Tumpeng Ketan
Oleh
ADI SUCIPTO KISSWARA
·3 menit baca
GRESIK, KOMPAS — Tiga gunungan tumpeng ukuran besar setinggi 1,5 meter diameter lebih kurang 1 meter dan 50 tumpeng ukuran kecil sumbangan warga diarak warga menuju kompleks Makam KH Muhammad Syafii di Desa Pongangan, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, Selasa (16/1) sekitar pukul 15.30.
Tiga gunungan tumpeng agung itu terdiri dari tumpeng ketan dan dua tumpeng berisi hasil bumi, seperti buah-buahan, sayuran, dan umbi-umbian. Sementara 50 tumpeng lainnya berupa nasi dan dan lauk-pauk seperti bandeng dan ayam panggang disertai urap dan masakan sayuran lainnya.
Seharusnya dibagikan merata tak usah berebut.
Setelah diarak sekitar 600-an meter dari kediaman ahli waris KH Syafii, diiringi drum band, tiga tumpeng besar berisi buah-buahan, sayuran, dan ketan itu diperebutkan warga. Tradisi tumpengan itu menjadi tontonan warga.
Arak-arakan tumpeng itu hanyalah salah satu bagian dari acara haul ke-52 KH Muhammad Syafii. Kegiatan itu dirangkai dengan khataman Al Quran, istigasah, dan pengajian. Gunungan tumpeng diarak dari kediaman anak cucu KH Syafii menuju ke area pemakamannya.
Ketan juga lebih mudah merekat. Kami berharap kerekatan warga terus terjaga.
Cucu KH Muhammad Syafii, Ahmad Junaidi Mujadid, mengatakan, arak-arakan tumpeng itu merupakan wujud rasa syukur kepada Allah yang telah memberikan kelimpahan rezeki warga. Kirab gunungan tumpeng agung dihidupkan sejak 2012.
Awalnya, acara itu hanya dilakukan internal keluarga dan keturunan KH Syafii serta para santrinya. Namun karena keinginan warga desa terlibat, akhirnya kegiatan itu mengikutsertakan masyarakat luas, termasuk warga desa dan siswa.
”Kami berharap kegiatan ini terus lestari karena banyak makna yang tergantung di dalamnya,” katanya.
Gunungan tumpeng agung jadi rebutan, setelah doa bersama. Warga malah saling dorong untuk mendapatkan isi dari tumpeng. Ketan yang dibuat tumpeng mencapai 50 kilogram.
”Kami menggunakan ketan, alasannya lebih tahan lama dan lebih mudah merekat saat dibuat gunungan. Maknanya, semoga berkah bagi warga Pongangan bisa awet dan terus-menerus selamanya. Ketan juga lebih mudah merekat. Kami berharap kerekatan warga terus terjaga,” kata Gus Junaidi.
Menurut dia, KH Syafii merupakan tokoh agama sekaligus tokoh masyarakat yang karismatik. Ia berjasa dalam siar agama dan budaya. ”Beliau punya istri tiga, satu di antaranya none Belanda. Sayangnya, anak dengan none Belanda bernama Maryam itu meninggal,” ujar Gus Junaidi.
Istilah nyumer atau sumer untuk menjelaskan terkena sakit panas populer di warga Pongangan. ”Waktu itu, saat anaknya demam, istri beliau bilang sumersumer sambil menunjukkan gambar matahari. Sejak itulah, kata sumer atau nyumer jadi tren sampai kini untuk menggambarkan sakit demam,” katanya.
Bagi Fitri (21), warga asli Kediri yang bekerja di Pongangan, arak-arakan tumpeng itu menjadi hiburan unik baginya. Apalagi saat warga berebut. Ia hanya menyayangkan ada makanan yang dilempar-lemparkan.
”Seharusnya dibagikan merata tak usah berebut. Itu akhirnya banyak makanan yang jatuh terinjak-injak, kan, sayang,” ujarnya.
Kholili, perangkat Desa Pongangan, menilai tradisi haul itu tetap positif. Maknanya dan pesan yang disampaikan agar manusia tidak lupa bersyukur. Apalagi rangkaian acara itu juga untuk menghargai KH Syafii sebagai pejuang kemerdekaan. ”Kami kualahan mengatur warga agar tidak berebut,” katanya.
Namun, warga yang berebut dan mendapatkan makanan pun berbagi. Mereka percaya jika mendapatkan lebih banyak bagian tumpeng, akan lebih berkah. ”Niki ngalap berkah kiai (ini mencari berkah) dari doa kiai,” kata Martini (48), warga yang rela berjubel dan ikut berebut.
KH Syafii sendiri wafat pada 1966. Sebagai penghormatan atas jasanya, warga rutin menggelar haul untuk memperingati hari wafatnya. Doa bersama, pengajian, dan tradisi arak-arakan tumpeng diiringi harapan ada keberkahan agar Pongangan makin maju dan warganya makin sejahtera.