Sungai Brantas Terus Jadi Tempat Buang Popok Bekas
Oleh
AMBROSIUS HARTO M.
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Sungai Brantas terus menjadi tempat pembuangan sampah domestik dan limbah industri. Jika terus dicemari, kesehatan 18 juta jiwa warga di 11 kabupaten/kota di sepanjang daerah aliran sungai akan tetap terancam.
Selasa (16/1) di Jembatan Sepanjang, Surabaya, 10 kader Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) kembali memulung popok bekas. Mereka merasa perlu berpakaian pelindung putih, masker antigas, sepatu bot karet, membawa jaring, tongkat kait, kantong, dan tong sampah.
Mereka prihatin karena sampah, terutama popok bekas, ditemukan di seluruh kawasan. Ada yang mengambang, mengendap, tersangkut di rangka jembatan, pinggir jalan, dan semak-semak sempadan sungai. Dengan hati dongkol, tetapi berharap ada perubahan perilaku, para pegiat memulung dan mengumpulkan sampah dan popok bekas untuk selanjutnya dibuang ke penampungan sementara atau akhir.
”Sepatutnya masalah sampah menjadi keprihatinan karena kami sampai mengajukan somasi bahkan gugatan warga negara terhadap Gubernur Jatim,” kata Direktur Eksekutif Ecoton Prigi Arisandi.
Semua pihak harus paham jangan lagi membuang sampah ke sungai yang notabene adalah sumber kehidupan manusia. Namun, sulit bahkan terkesan mustahil menggugah kesadaran publik tentang peran vital sungai bagi kehidupan mereka.
Kampanye melalui memulung popok bekas sudah berlangsung sejak Juli 2017. Pemulungan tidak sebatas di Sungai Brantas, tetapi sungai-sungai lain bahkan pantai. Selama mengampanyekan memulung popok bekas atau sampah, pegiat Ecoton menyaksikan hampir tidak ada tempat di Jatim yang benar-benar suci dari sampah. ”Sampah dibuang di mana-mana,” kata Prigi dengan nada prihatin.
Penelikan oleh Ecoton menunjukkan, dari 18 juta jiwa warga di DAS Brantas, diperkirakan ada 610.000 bayi berusia 0-2 tahun yang setiap hari oleh orangtua dikenakan 3-4 popok sekali pakai. Untuk pengolahan secara sederhana, warga tidak memusnahkan popok dengan dibakar karena terpengaruh ”kepercayaan” anak akan menerima suleten atau iritasi dan gatal-gatal. Popok yang dibuang ke sungai secara terus-menerus membuat lapisan endapan tebal dan mengganggu sirkulasi oksigen untuk kesehatan ekosistem tersebut.
Dari 18 juta jiwa warga di DAS Brantas, diperkirakan ada 610.000 bayi berusia 0-2 tahun yang setiap hari oleh orangtua dikenakan 3-4 popok sekali pakai.
Koordinator Indonesia Water Community of Practise (IndoWater CoP) Riska Darmawanti memaparkan, popok sekali pakai terbuat dari empat komponen. Sodium poliakrilat atau hydrogel (super absorbent polymer) bersifat awet dari minyak bumi dan beracun. Dioksin dari klorin untuk pemutih bahan popok (tetraklorodibenzo-p-dioksin) kerap dikaitkan sebagai penyebab kanker pada manusia.
Tributilin (TBT) dan estrogenil mengganggu aktivitas hingga mutasi gen dan membuat kegemukan. Ptalat dalam pewangi untuk mengaburkan bau feses bayi mengganggu sistem endokrin dan dikategorikan sebagai bahan racun. Bayi sebenarnya sensitif terhadap semua senyawa tadi karena dapat membuat iritasi kulit dan sesak napas.
Senyawa yang dikeluarkan dari popok dan dikonsumsi ikan, udang, atau kepiting membuat organ hewan-hewan itu cenderung berubah menjadi betina meski sesungguhnya jantan. Akibatnya, kekayaan hayati sungai menuju kepunahan, air sungai tercemar senyawa kimia dan tak layak dikonsumsi, dan rakyat menanggung dampak jangka panjang jika terpapar terus-menerus oleh air sungai tercemar.
Gubernur Jatim Soekarwo menanggapi somasi dan gugatan dengan mengeluarkan surat edaran kepada bupati dan wali kota. Surat bertanggal 18 Desember 2017 itu meminta kepala daerah mengawasi pembuangan sampah rumah tangga di seluruh sumber air. ”Itu kewenangan mereka,” katanya beberapa waktu lalu.
Namun, surat itu tidak efektif karena tidak mencantumkan mekanisme sanksi dari gubernur kepada bupati dan wali kota yang tidak mengindahkan edaran tersebut. Akibatnya, tidak ada pengawasan sehingga sungai dan seluruh sumber air masih menjadi tempat sampah.