PEKALONGAN, KOMPAS — Hingga Selasa (16/1) malam, sedikitnya 200 warga masih mengungsi di Masjid Al-Karomah, Kota Pekalongan, Jawa Tengah, lantaran banjir di Kecamatan Pekalongan Barat belum surut. Sementara itu, di Kecamatan Pekalongan Utara, sejumlah keluarga juga terdampak banjir, tetapi belum ada evakuasi.
Banjir di Kota Pekalongan disebabkan hujan deras disertai petir dalam dua hari beruntun, Minggu dan Senin (14-15/1) malam. Dua kelurahan di Kecamatan Pekalongan Barat yang paling terdampak ialah Tirto dan Pasirkratonkramat. Meluapnya Sungai Bremi menjadi pemicu banjir di daerah itu.
Pantauan Kompas di Kelurahan Tirto, Selasa sore, ketinggian air di sejumlah titik berkisar 10-40 sentimeter (cm). Selain jalan, air juga masuk ke rumah. Sebagian warga memilih mengungsi di Masjid Al-Karomah, tetapi sebagian lagi bertahan karena menjaga barang-barang di rumah, seperti sepeda motor, karena masih sulit untuk menerjang banjir.
Di Masjid Al-Karomah, sejumlah warga masih mengungsi. Novi, relawan Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Pekalongan, menuturkan, berdasarkan pendataan pada Selasa sore, jumlah pengungsi 289 orang, terdiri dari 257 dewasa, 4 warga lansia, dan 28 anak balita. Namun, sebagian dari mereka bolak-balik ke rumah untuk mengecek kondisi.
Sementara di Jambi, dua perahu nelayan tenggelam dalam sepekan terakhir akibat gelombang tinggi di perairan timur Jambi. Satu nelayan ditemukan tewas, sementara satu lagi masih hilang. Nelayan diminta lebih mewaspadai ancaman gelombang tinggi dan berhati-hati saat melaut.
Kepala Kantor SAR Provinsi Jambi Al Hussain, Selasa (16/1), mengatakan, satu perahu motor atau pompong yang ditumpangi lima nelayan tenggelam di Sungai Pengabuan, Kuala Bram Itam, Kecamatan Tungkal Ilir, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi, Senin malam.
Dalam peristiwa itu, satu nelayan hilang, sedangkan empat lainnya berhasil diselamatkan nelayan sekitar. ”Setelah kami mendapatkan informasi, tim menuju lokasi untuk mencari korban yang hilang,” ujarnya.
Hingga Selasa sore, pencarian masih terus dilakukan. Adapun nelayan hilang tersebut bernama Haryadi (33), warga Desa Pembengis, Kecamatan Tungkal Ilir.
Pelayaran dan penyeberangan terganggu
Pelayaran dari Gresik ke Pulau Bawean menggunakan kapal perintis terhenti sejak sepekan terakhir. Akibatnya, warga yang hendak menyeberang dari Gresik ke Pulau Bawean atau sebaliknya tertahan sehingga mendongkrak harga komoditas di Bawean.
Camat Sangkapura, Bawean, Gresik, Abdul Adim, Selasa (16/1), di Bawean, mengatakan, sejak seminggu yang lalu, Kapal Cepat Express Bahari 8E tidak berlayar karena cuaca buruk. Padahal, kapal perintis itu menjadi andalan utama transportasi dari Pulau Bawean menuju Gresik dan sebaliknya. Saat ini, posisi kapal berada di Pelabuhan Gresik.
Kapal yang berlayar tiga kali seminggu rute Pelabuhan Gresik-Pelabuhan Bawean biasanya berisi warga dan bahan makanan. Namun, sejak kapal berhenti beroperasi, tidak ada warga yang menyeberang dan suplai makanan ke Bawean terhenti.
Dari pantauan di Pasar Sangkapura, Bawean, kata Abdul, harga sejumlah komoditas sudah naik, misalnya telur, cabai, dan beras. Kenaikan harganya rata-rata 5-10 persen. Belum lagi wisatawan dan warga yang sakit di Bawean dan tidak dapat diangkut.
Gelombang tinggi juga terjadi di Selat Sunda. Hal itu menyebabkan waktu bongkar-muat di Pelabuhan Merak, Kota Cilegon, Banten, lebih lama meski masih dalam kondisi normal. Pelaksana Harian Humas PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry (Persero) Cabang Merak Ado Warsono, di Cilegon, Selasa, mengatakan, tinggi gelombang saat bisa mencapai lebih dari 2 meter. Biasanya, tinggi itu sekitar 0,5 hingga 1 meter. ”Waktu sandar saat kondisi normal hanya satu jam. Sekarang, waktu sandar lebih lama hingga 15 menit,” katanya. (SYA/ACI/BAY/DIT/ITA)