PALANGKARAYA, KOMPAS — Centre for Orangutan Protection, lembaga swadaya masyarakat yang berkonsentrasi dalam perlindungan orangutan, meminta Balai Konservasi Sumber Daya Alam melakukan nekropsi terhadap bangkai orangutan yang mengapung di Sungai Kalahien, Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Tengah. Hal itu penting untuk penelusuran kasus pembantaian orangutan tersebut.
Manajer Program Perlindungan Habitat Centre for Orangutan Protection (COP) Ramadhani mengatakan, nekropsi atau otopsi bangkai orangutan merupakan langkah awal dalam membongkar kejahatan serius terhadap satwa liar dilindungi.
Menurut Ramadhani, dari nekropsi itu akan didapat informasi, seperti penyebab kematian dan waktu kematian. ”Penguburan segera bangkai orangutan terkesan seperti penguburan segera kasus ini sehingga tidak bisa dilacak lagi tersangkanya,” ujar Ramadhani saat dihubungi dari Palangkaraya, Selasa (16/1).
Seperti diberitakan, satu bangkai orangutan ditemukan warga mengapung di sekitar Sungai Kalahien (Kompas, 16/1). Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalteng bersama polisi hutan mengumpulkan informasi penemuan bangkai itu lalu
menguburkan orangutan jantan itu.
Hingga Selasa, baik BKSDA maupun polisi hutan menduga kematian orangutan dewasa tersebut karena benda tajam. Hal itu terlihat dari sejumlah luka dan hilangnya kepala orangutan tersebut. ”Pemeriksaan bangkai harus dilakukan karena kematian orangutan itu tidak wajar. Kalau memang diduga dibunuh, maka harus diselesaikan kasusnya,” kata Ramadhani.
Sudah rusak
Kepala BKSDA Kalteng Adib Gunawan menjelaskan, bangkai langsung dikubur karena kondisinya sudah rusak. Ia khawatir bangkai tersebut menjadi sumber penyakit jika dibiarkan terlalu lama. ”Data-data fisik dari orangutan itu sudah kami ambil. Jika di kemudian hari diperlukan, bisa diambil tindakan lainnya,” ucap Adib.
BKSDA, kata Adib, juga terus berkoordinasi dengan polisi setempat untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan. Ia berharap kejadian serupa tidak terulang kembali dan masyarakat memahami pentingnya melindungi satwa liar dilindungi. ”Yang penting ke depannya kami mengambil langkah dan berupaya meningkatkan kampanye atau sosialisasi agar tak ada lagi konflik manusia dengan orangutan,” tutur Adib.
Manajer Edukasi dan Komunikasi Yayasan Borneo Orangutan Survival Monterado Fridma sangat menyayangkan kejadian tersebut. Menurut Monterado, hal itu membuktikan konflik orangutan dan manusia masih sering terjadi.
Adib menambahkan, masyarakat juga perlu mengetahui pentingnya menjaga populasi satwa liar dilindungi bagi hutan dan bagi kehidupan manusia. ”Sosialisasi undang-undang perlindungan satwa liar juga harus dijalankan. Bersama semua pihak terkait, kami berharap kampanye ini berjalan,” ujarnya.(IDO)