CILEGON, KOMPAS — Komisi VI DPR meminta pemerintah tidak menerapkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 88 Tahun 2014 tentang Pengaturan Ukuran Kapal Angkutan Penyeberangan di Lintas Merak-Bakauheni, yang akan berlaku tahun 2019. Jika peraturan itu diberlakukan, hanya kapal berukuran besar atau lebih dari 5.000 gros ton yang bisa beroperasi di Selat Sunda.
Anggota Komisi VI DPR, Bambang Haryo, setelah meninjau Pelabuhan Merak di Kota Cilegon, Banten, Selasa (16/1) malam, mengatakan, pemberlakuan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 88 Tahun 2014 itu rentan membuat kapal-kapal kecil di bawah 5.000 gros ton tidak bisa beroperasi. Padahal, jumlah penumpang dan kendaraan yang diseberangkan dari Pelabuhan Merak ke Pelabuhan Bakauheni, Lampung, dan sebaliknya tak selalu besar.
”Jika penyeberangan sepi, lebih baik gunakan kapal-kapal berukuran kecil. Penggunaan bahan bakar minyak pun tidak boros,” katanya.
Bambang mengatakan, kapal-kapal penyeberangan itu masih akan menggunakan BBM bersubsidi. Penggunaan BBM secara berlebihan hanya akan mengikis APBN.
Menurut Bambang, jika setelah aturan itu berlaku dan kapal-kapal berukuran kecil dipindahkan ke pelabuhan lain, keputusan itu belum tentu tepat. Apabila tidak sesuai dengan ukuran dermaga, kapal-kapal itu akan rusak sehingga biaya perawatan membengkak.
”Kondisi kapal-kapal berukuran kecil itu saat ini masih bagus. Kami meminta pemerintah meninjau ulang Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 88 Tahun 2014,” ucapnya.
Tetap dibutuhkan
Menurut Bambang, kapal-kapal berukuran kecil tetap dibutuhkan. Saat ini, menurut Bambang, jumlah total kapal yang
ada 68 unit, tetapi tidak semua beroperasi. Hampir 60 persen kapal ukurannya di bawah 5.000 GT. Kapal-kapal tersebut harus beroperasi bergantian. Karena itu, jumlah kapal yang bisa beroperasi setiap hari hanya 28 unit.
Berdasarkan data PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry (Persero) Cabang Merak, setiap kapal di lintasan Merak-Bakauheni hanya beroperasi 12 hari per bulan. Padahal, idealnya setiap kapal beroperasi maksimal 25 hari per bulan dan lima hari lain digunakan untuk perawatan.
Kapasitas setiap kapal pun berbeda-beda. Untuk kapal di bawah 5.000 GT, kapasitasnya
antara 700 dan 1.200 penumpang. Sementara kapal di atas 5.000 GT, seperti Portlink III, mampu mengangkut 1.500 penumpang.
Direktur Usaha Pelabuhan PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) La Mane menyerahkan sepenuhnya kebijakan mengenai ukuran kapal yang boleh beroperasi di Selat Sunda.
”Bagi kami, apa pun yang diputuskan pemerintah harus dijalankan dengan sebaik-baiknya sesuai regulasi. Kami juga bagian dari pemerintah,” katanya.
Akan tetapi, ia mengakui, pemindahan kapal-kapal berukuran kecil ke lintasan lain, kata Mane, bukan perkara mudah. Alasannya, dermaga baru belum tentu sesuai dengan ukuran kapal.
”Kalau dipindahkan ke lintasan Ketapang-Gilimanuk, misalnya, ukuran kapal yang beroperasi paling besar 1.500 GT. Sementara jika dipindahkan ke lintasan-lintasan di Indonesia bagian timur, jumlah penumpangnya tidak sebesar di Merak-Bakauheni,” katanya.
Ditanya tentang efektivitas pengoperasian kapal, Mane mengakui, berdasarkan pendeknya rentang waktu pengoperasian setiap kapal per bulan, pemanfaatan sarana transportasi tersebut dinilai kurang efisien. Namun, penjadwalan pengoperasian kapal harus dilakukan secara adil. (BAY)